Mohon tunggu...
K Catur Marbawa
K Catur Marbawa Mohon Tunggu... Insinyur - I will be back

Berusaha tulus. Tidak ada niat tidak baik

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

HCPSN: Antara Rusa, Kecombrang, dan Jalak Bali

6 November 2020   06:00 Diperbarui: 6 November 2020   07:15 566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Burung Jalak Bali (Leucopsar rotschildi) | (KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA)

Tidak banyak orang yang mengenal dan mengerti akronim HCPSN. Kecuali orang-orang konservasi. Ya HCPSN adalah akronim dari Hari Cinta Puspa Satwa Nasional. Diperingati setiap tanggal 5 November. Dari namanya kita sudah bisa mengerti maksud peringatan ini.

Tahun ini dipilih sebagai ikon peringatan HCPSN adalah Rusa Timor (Cervus timorensis) dan Kecombrang (Etlingera elatior). Saya tidak tahu alasan terpilihnya dua spesies ini sebagai ikon HCPSN 2020. Mungkin dilihat dari sisi tingginya manfaat spesies ini.

Rusa Timor dari sisi manfaat bisa sebagai sumber pangan protein hewani. Akan tetapi tentu hanya bisa didapat dari hasil penangkaran keturunan kedua (F2), bukan dari alam. Di alam liar, Rusa Timor ini bisa berfungsi sebagai salah satu bagian dari rantai makanan. Salah satunya di kawasan konservasi Taman Nasional Komodo.

Di Taman Nasional Komodo -- yang sedang heboh karena isu Jurasic saat ini --Rusa Timor ini merupakan sumber pakan alami utama dari Komodo. Makanya pengelola Taman Nasional Komodo memperhatikan betul kestabilan jumlah populasi Rusa ini demi kelangsungan hidup Komodo.

Konflik pengelola Taman Nasional Komodo dengan masyarakat penyangga Taman Nasional Komodo salah satunya karea perburuan satwa Rusa ini seperti yang terjadi di Bima dan Manggarai sana. Belakangan telah ada upaya dari pemerintah untuk menangkarkan Rusa ini di masyarakat untuk mencegah pengambilan Rusa dari habitat aslinya di Taman Nasional Komodo.

Berbicara Kecombrang, jenis tanaman ini umumnya dimanfaatkan untuk bahan obat juga makanan. Orang Bali ketika mendengar kata Kecombrang mungkin banyak tidak tahu. Kecuali kalau kata Bongkot. Ya.. Bongkot ini adalah nama lokal Bali dari Kecombrang.

Sambal Bongkot yang terbuat dari irisan batang Kecombrang dicampur dengan aneka rempah, garam juga ikan teri yang digoreng, kemudian diulek, merupakan sambal tradisional yang akrab dengan keseharian orang Bali. Saya termasuk penikmat sambal bongkot ini. Barangkali juga Anda atau juga masyarakat dari daerah lainnya.

Dua spesies Rusa Timor dan Kecombrang ini sangat familiar dengan saya. Terutama Rusa Timor. Saya dulu pernah bekerja Balai KSDA Bali selama empat tahun, mengurus penangkaran dan peredaran eksitu Rusa Timor. Sebelumya juga pernah selama dua belas tahun bekerja di Taman Nasional Bali Barat. Di sana populasi Rusa Timor sangat melimpah dan terus bertambah.

Saya tidak tahu melimpahnya tepatnya karena apa. Tapi bisa jadi kesadaran masyarakat untuk melindungi satwa ini makin tinggi. Bisa jadi karena daya dukung habitatnya masih dan makin bagus. Atau mungkin saja karena predator puncak satwa ini sudah tidak ada. Sejarahnya dulu di daerah ini konon habitatnya Harimau Bali yang sudah punah itu. Apa karena itu kemudian Rusa tidak ada yang memakan. Entahlah, tapi mungkin saja.

Tetapi di tulisan saya ini, saya tidak akan panjang lebar mengulas tentang Rusa Timor dan Kecombrang meski dua spesies menjadi ikon peringatan HCPSN tahun ini.

Saya lebih memilih mengulas tentang satwa ikonik di Bali karena habitat alaminya hanya ada di Bali Barat, yakni burung Jalak Bali. Pengalaman 12 tahun bekerja di Taman Nasional Bali Barat membuat saya lebih memilih menulis tentang Jalak Bali. Meski bukan ahlinya saya rasa. Tentulah masih relevan dengan peringatan HCPSN.

Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) merupakan satwa dilindungi dan Taman Nasional Bali Barat adalah satu-satunya habitat alami burung Jalak Bali ini. Seperti umumnya penetapan Taman Nasional lainnya di Indonesia, adanya spesies kunci Jalak Bali inilah yang sebenarnya menjadi satu alasan utama ditetapkannya kawasan Bali Barat ini sebagai Taman Nasional.

Maka dari itu, prioritas pengelolaan Taman Nasional Bali Barat terutama ditujukan untuk konservasi Jalak Bali ini. Tentu tidak mengenyampingkan aspek ekosistem penting pendukungnya.

Saya mulai bekerja di Taman Nasional Bali Barat di akhir tahun 2000. Di era ini, jumlah populasi Jalak Bali di alam berada di titik nadir. Dari tahun 2000 sampai tahun 2005 populasi habitat Jalak Bali dari hasil monitoring di alam berturut-turut 15 – 6 – 9 – 29 – 24 – 12 ekor. 

Fluktuasi penambahan bukannlah ini karena burung ini berkembang biak di alam tapi karena pihak taman nasional melakukan pelepasliaran burung hasil penangkaran di taman nasional. Pegurangan jumlah burung di alam selain karena predator alami, tidak adaptif dengan habitat, juga lebih dikarenakan burung ini dicuri di alam.

Puncaknya di tahun 2006. Hasil monitoring Jalak Bali di alam Taman Nasional Bali Barat, tidak satupun burung Jalak Bali ditemukan alias nol. Saat itu betapa tinggi perburuan liar oleh oknum masyarakat.

Bisa dibayangkan pada saat itu di pasaran gelap harga satu ekor Jalak Bali di kisaran 20 – 40 juta tergantung kondisi. Dan peminatnya selalu ada. Kondisi inilah sebenarnya yang menyebabkan tingginya tekanan populasi Jalak Bali di habitat alaminya.

Tidak hanya Jalak Bali di alam, Jalak Bali di penangkaran yang dikelola oleh Taman Nasional Bali Barat pun tidak luput dari pencurian dan bahkan perampokan. Taman Bali Barat memang memiliki dan mengelola penangkaran Jalak Bali sejak 1996.

Di Tahun 1999, sebanyak 39 ekor burung Jalak Bali dirampok dari penangkaran ini. Para petugas penjaga penangkaran yang diantaranya terdapat polisi kehutanan diikat perampok. Senjata api pun sempat diambil perampok meski belakangan senjata api itu di kembalikan lagi secara diam-diam.

Tidak hanya sekali. Tahun 2000, 13 ekor raib dicuri dari penangkaran. Di bulan Januari 2004 kembali burung Jalak Bali dicuri dari penangkaran, 15 ekor raib. Seperti kasus-kasus sebelumnya tidak satupun yang terungkap siapa pelakunya pencurian ini.

Kondisi ini menimbulkan dugaan-dugaan, jangan-jangan ada keterlibatan orang dalam taman nasional sendiri terhadap kejadian-kejadian pencurian dan perampokan ini. Minimal sebagai informan atau memfasilitasi bahkan ikut merancang aksi. 

Dalam rangka mencegah kecurigaan antar pegawai saat itu, pimpinan taman nasional merancang acara sumpah pegawai saat itu. Jadi seluruh pegawai Taman Nasional Bali Barat baik PNS maupun honorer diambil sumpahnya. Secara massal sesuai agama masing-masing.

Intinya bersumpah tidak terlibat dalam aksi pencurian burung Jalak Bali dan siap menanggung akibat kalau memang terlibat dan berbohong. Begitu kira-kira sumpahnya. Saya pun ikut disumpah.

Entah karena memang ritual sumpah itu manjur, pada bulan Juni 2004 kembali Burung Jalak Bali hilang 2 ekor dari penangkaran. Ternyata ini adalah jebakaan polisi yang menyamar sebagai pembeli burung Jalak Bali. Dan ternyata orang yang mencuri burung itu dari penangkaran, melakukan transaksi dengan pembeli dan kemudian ditangkap polisi, adalah petugas perawat satwa burung itu sendiri di penangkaran.

Akhirnya perawat burung ini dipecat dan dihukum pidana atas tindakannya itu. Apakah memang orang itu dalang kasus selama ini, yang jelas semenjak saat itu tidak pernah lagi terdengar kasus pencurian burung di penangkaran taman nasional.

Dalam rangka mengisi kekosongan populasi Jalak Bali di alam kembali Taman Nasional Barat dan pemerhati pada tahun 2007 kembali merancang pelepasliaran burung Jalak Bali. Kali ini besar-besaran. Pelepasliaran burung ini mengambil moment Conference of the Parties (COP) ke 13 tahun 2007 yang diadakan di Denpasar. Salah satu side event COP ini adalah peserta konferensi melakukan pelepasiaran burung Jalak Bali sejumlah 72 ekor di Taman Nasional Bali Barat.

Burung-burung yang dilepasliarkan tersebut berasal dari Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB). APCB ini lahir tahun 2005. APCB ini beranggotakan kebun binatang-kebun binatang di Indonesia yang mempunyai koleksi Jalak Bali. Juga beranggotakan para penangkar-penangkar burung Jalak Bali di seluruh Indonesia.

Jadi meski di habitat alaminya sudah habis, sejatinya Jalak Bali masih ada di kebun binatang, penangkar-penangkar juga di kolektor. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Berdasarkan catatan APCB, periode 1973-2004 burung Jalak Bali yang ada di kebun binatang dan juga kolektor saat itu mencapai 700-800 ekor. Memang sulit memahami bagaimana cerita Jalak Bali yang dilindungi kok bisa sampai jatuh ke mereka.

Contoh di kota Yokohama Jepang, di situ ada juga penangkaran Jalak Bali. Tahun 2007 dengan difasilitasi taman nasional dan JICA Jepang, saya studi banding ke sana. Di sana saat itu ada sekitar 200 ekor Jalak Bali. Karena bukan merupakan satwa endemik di Jepang, hasil penangkaran ini tidak dilepasiarkan di Jepang. Hasil penangkaran burung itu di Jepang akan dikirim ke Indonesia melalui APCB untuk kemudian dibawa ke Taman Nasional Bali Barat untuk dilepasliarkan.

Setelah APCB ini lahir, APCB kemudian memberikan masukan ke pemerintah. Mereka memohon agar mereka yang saat ini sudah menjadi anggota APCB ataupun yang belum, agar diberi kelonggaran. Koleksi Jalak Bali mereka agar tidak disita tapi masuk dalam kelompok penangkar dan diberikan izin resmi oleh pemerintah. Tujuan dasarnya meningkatkan populasi, menertibkan pencatatan silsilah, dan yang utama membanjiri pasar untuk mengurangi penangkapan di alam.

Semenjak saat itu pemerintah kemudian membolehkan baik kepada perorangan maupun skala usaha untuk melakukan penangkaran Jalak Bali dengan izin dari Balai KSDA setempat. Bagaimana kemudian dengan Jalak Bali di alam? Setelah tahun 2007 dilepas 72 ekor, tahun 2008 berikutnya dilakukan monitoring. Burung Jalak Bali hanya ditemukan 4 ekor di alam. Kemana yang lain?

Tentu kemudian dievaluasi. Bisa jadi burung hasil penangkaran yang dilepas di alam belum bisa survive di alam. Terlalu manja dengan pakan buatan, tidak liar dan tidak berpengalaman dengan predator alami. Bahkan mungkin sudah terbiasa didekati orang. Bahkan ketika orang hendak mencuri burung di alam dengan mudah ditangkap.

Hal lain bisa jadi memang perlu penyempurnaan habitat tempat pelepas liaran Jalak Bali. Tempat-tempat bak minum satwa harus diperbanyak. Berikutnya lokasi pelepasliaran perlu dicoba ditempat lain selain di tempat biasanya di Teluk Brumbun di bagian Zona Inti Taman Nasional Bali Barat.

Berikutnya metode pelepasliaran perlu disempurnakan. Sebelum dilepasliarkan bagaimana burung tersebut agar dilatih terlebih dahulu di kandang pra liar. Burung dilatih adaptasi cuaca, pakan alami bahkan dilatih menghadapi predator alami seperti ular, burung alap-alap.

Tentu yang tidak bisa diabaikan adalah di sisi dukungan dari masyarakat penyangga taman nasional dan masyarakat luas umumnya. Selama ini masyarakat penyangga dianggap turut andil menurunkan populasi burung di alam.

Pihak Taman Nasional Bali Barat bekerja sama dengan Balai KSDA Bali kemudian membina dan memfasilitasi perijinan penangkaran Jalak Bali di Desa Sumberklampok, desa penyangga terdekat dengan habitat alami Jalak Bali.

Di Desa Sumberklampok diberikan izin penangkaran Jalak Bali kepada kelompok yang dinamakan Kelompok Penangkar Jalak Bali Manuk Jegeg. Asal usul indukan penangkaran ini berasal dari pinjaman indukan dari APCB. Penangkaran ini berkembang dan berhasil, bahkan saat ini jumlah burung Jalak Bali yang ada di penangkaran ini mencapai 65 ekor. Itu yang masih tersisa, karena beberapa di antaranya sudah berpindah tangan.

Kembali ke populasi Jalak Bali di alam. Setiap tahun pihak taman nasional melepasliarkan burung ini. Baik yang berasal dari APCB maupun dari penangkaran taman nasional sendiri. Data dari taman nasional, secara bertahap sejak 2011 sampai 2019 telah dilepaskan sekitar 490 ekor Jalak Bali di alam.

Jumlah populasi Jalak Bali di alam setelah dilakukan pelepasan awalnya sempat mengalami fluktuasi. Evaluasi segala hal terus dilakukan. Dampaknya kemudian semenjak 2012, jumlah populasi Jalak Bali di alam mengalami tren peningkatan.

Pada bulan Juli tahun 2020, dari hasil monitoring jumlah jumlah populasi Jalak Bali di alam liar Taman Nasional Bali Barat sudah mencapai 355 ekor! Apakah itu semuanya burung dari pelepasliaran? Tidak. Saat ini tercatat 117 ekor Jalak Bali dari 355 ekor yang teramati di alam adalah merupakan anakan. Anakan hasil perkembangbiakan alami.

Perkembangan Jalak Bali di luar habitat atau ek situ saat ini juga mengalami peningkatan luar biasa. Saat ini sudah ribuan burung Jalak Bali ada di ex situ. Data dari Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, saat ini tercatat penangkar yang telah berizin diantaranya Jawa Tengah dengan 252 pemegang izin, Jawa Timur 31, Yogyakarta 21, Bali 16, Jabar 12, dan Jakarta satu orang.

Dari sisi harga pun di pasaran sangat jauh menurun, di era tahun 2000 an, harga satu ekor Jalak Bali yang bisa mencapai 20 - 40 juta seekor, saat ini harganya hanya mulai dari 3 juta itupun sepasang.

Apakah dengan kondisi sudah dianggap berhasil dan program konservasi Jalak Bali sudah selesai? Kalau dilihat dari jumlah populasi bolehlah dibilang berhasil. Tahun 2006 populasi Jalak Bali sempat Nol, kemudian di tahun 2020 menjadi 355 ekor tentu keberhasilan yang patut diapresiasi. Selain di alam, di penangkaran Jalak Bali yang dikelola taman nasional saat ini (Juli 2020) jumlah Jalak Bali ada 391 ekor.

Tantangan ke depan akan selalu ada. Pertama, kondisi saat ini keragaman genetik burung Jalak Bali kecil. Pelepasliaran burung Jalak Bali ke depan harus benar-benar selektif. 

Semakin kecil keragaman genetik makin tinggi peluang terjadinya perkawinan antar sesama individu yang mempunyai hubungan keluarga dekat/silang dalam (inbreeding). Keragaman genetik yang rendah biasanya berhubungan dengan ketidaknormalan secara fisiologi dan fisik, misalnya terjadinya cacat sperma dan fenomena albino.

Berikutnya daya dukung habitat. Idealnya dipelajari berapa sebenarnya daya dukung habitat yang masih bisa menampung Jalak Bali di alam. Taman Nasional Bali Barat dikelilingi oleh pemukiman dan juga hutan produksi. Satu bentang alam.

Pengelolaan Kawasan konservasi taman nasional dan hutan produksi haruslah berbasis bentang alam dan dipandang sebagai satu kesatuan ekosistem. Ekosistem hutan produksi yang rusak saat ini secara nyata akan berdampak terhadap populasi Jalak Bali ini.

Saat ini daerah jelajah Jalak Bali sudah ada yang sangat jauh dari taman nasional. Apakah ini berarti daya dukung habitat terutama pakan di taman nasional dan di hutan produksi sudah tidak mencukupi?

Apabila diihat secara aturan semua unit penangkar berizin, wajib mengembalikan 10% satwa hasil penangkaran ke pemerintah. Bagaimana dengan Taman Nasional Bali Barat, apakah sudah siap menerima limpahan burung hasil penyerahan penangkar? Perlu studi untuk menghitung daya dukung habitat taman nasional untuk burung Jalak Bali itu.

Kalaupun kemudian Jalak Bali berkembang ke luar taman nasional tentu juga tidak akan menjadi masalah. Sepanjang masyarakat dengan kesadaran tinggi membiarkan dan bahkan melindungi burung itu.

Saat ini pun di berbagai tempat di Bali telah dilakukan pelepasliaran burung Jalak Bali. Antara lain di Pulau Nusa Penida, di Desa Lebih dan Serongga Gianyar, di Desa Sibang Badung, di Kecamatan Payangan Gianyar. Dan burung-burung ini kesemuanya dilepas dari hasil penangkaran.

Secara aturan pun menyebutkan bahwa satwa dilindungi hasil penangkaran (F2) dan seterusnya dinyatakan sebagai individu yang tidak dilindungi. Jadi sah-sah saja kalau ada lembaga atau perorangan ingin melepas burung ini. 

Dimanapun di Bali seyogyanya diperbolehkan sepanjang habitat pelepasliaran dan masyarakat mendukung. Dilihat dari sisi sejarahpun sebenarnya sebagian besar wilayah Bali adalah daerah persebaran alami Jalak Bali ini. Tapi idealnya tetap harus mendapat rekomendasi dari Balai KSDA setempat.

Satu benang merah yang dapat disampaikan : program konservasi spesies yang dilindungi di habitat alami (in situ) tidak bisa dilepaskan dari program konservasi spesies di luar habitat (ex situ). Program konservasi spesies secara ex situ melalui program penangkaran, Lembaga Konservasi dalam bentuk kebun binatang, taman safari dll pada akhirnya hasilnya digunakan untuk mendukung program konservasi di habitat alaminya.

Beberapa satwa dilindungi yang saat ini sudah bisa dikembangbiakan secara ex situ antara lain: Burung Paruh Bengkok (jenis Kakatua), Burung Cendrawasih, Burung Merak, Rusa, Kijang, Gajah Sumatra, Harimau Sumatra, Badak Sumatra, Buaya Muara, Orang Utan, dan lain-lain. Kadang memang masyarakat terlanjur apriori dan memandang sinis, nyinyir, bahwa program konservasi ek situ itu dianggap eksploitasi satwa. Sebagian mempertanyakan, kenapa tidak dilepaskan ke alam satwa-satwa tersebut semuanya.

Pemerintah sudah mengatur sedemikian rupa. 10% hasil penangkaran itu harus kembali ke pemerintah untuk diliarkan di habitat alaminya. Prinsip dasarnya sebenarnya sederhana. Memenuhi pasar satwa dilindungi dengan satwa hasil penangkaran pada dasarnya adalah untuk mengurangi tekanan populasi satwa di alam akibat perburuan liar. Harapan terakhirnya spesies yang dilindungi tersebut lestari di habitat alaminya.

Salam Konservasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun