Oleh: I Gede Gohan Adiputra
Ketika menonton film The Laundromat (2019) garapan Steven Soderbergh, penonton tidak hanya disuguhi kisah sinematik yang menarik tentang skandal keuangan global, tetapi juga dihadapkan pada kenyataan pahit tentang betapa kompleks dan gelapnya dunia keuangan internasional. Film ini, terinspirasi dari kebocoran dokumen Panama Papers yang mengungkap sisi absurd dan ironis dari sistem hukum global yang secara diam-diam melegitimasi praktik-praktik manipulatif oleh elit keuangan dunia. Film ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi kritik sosial terhadap sistem global yang memungkinkan kejahatan keuangan berlindung di balik kerahasiaan, jargon hukum, dan yurisdiksi bebas pajak. Lantas, bagaimana wajah asli dari praktik kejahatan keuangan transnasional, apa dampaknya terhadap keadilan sosial global? dan Mengapa dunia harus lebih serius menangani praktik semacam ini?
Kejahatan Keuangan Transnasional dan Perusahaan Cangkang
Kejahatan keuangan transnasional merupakan bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di lintas batas negara, termasuk pencucian uang, penghindaran pajak, dan korupsi yang melibatkan aktor dari berbagai yurisdiksi. Aktivitas ini jelas memiliki dampak sistemik terhadap perekonomian global, melemahkan institusi demokratis, serta menggerus kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Menurut laporan PBB tentang Integritas Keuangan , sekitar $1,6 triliun atau 2,7 persen dari PDB global diperkirakan dicuci setiap tahunnya, hal ini berdampak pada terdistorsinya perekonomian, menghambat pembangunan, dan mengikis kepercayaan terhadap sistem keuangan.
Dalam praktiknya, salah satu instrumen utama yang digunakan adalah perusahaan cangkang (shell companies), yaitu perusahaan yang tidak memiliki atau hanya memiliki operasi bisnis nominal dan sedikit atau tidak memiliki aset. Perusahaan ini sering digunakan untuk menyembunyikan identitas pemilik manfaat (beneficial owner) serta memfasilitasi perpindahan dana secara anonim, terutama di wilayah yurisdiksi yang dikenal sebagai tax havens seperti British Virgin Islands, Panama, dan Seychelles. Tidak bisa dipungkiri bahwa perusahaan cangkang telah menjadi instrumen utama dalam praktik penghindaran pajak dan aliran dana ilegal yang merongrong keadilan fiskal global. Meski secara hukum beberapa di antaranya dapat dibenarkan, namun kenyataannya praktik-praktik yang mereka fasilitasi justru memperlebar jurang ketimpangan dan mencederai prinsip etika dalam tata kelola ekonomi dunia.
Panama Papers: Wajah Buruk Kapitalisme Global
Skandal Panama Papers yang meledak pada tahun 2016 membongkar praktik gelap keuangan yang selama ini tersembunyi di balik sistem hukum global. Sebanyak 11,5 juta dokumen rahasia dari firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca, bocor dan mengungkap bagaimana jaringan perusahaan cangkang digunakan secara sistematis oleh elit global termasuk kepala negara, miliarder, selebritas, hingga pelaku kriminal untuk menyembunyikan kekayaan, menghindari pajak, dan mencuci uang. Kebocoran ini tidak hanya mencengangkan dunia, tetapi juga menyoroti kompleksitas dan kegagalan regulasi internasional dalam menindak kejahatan keuangan lintas negara. Sebagaimana dilaporkan oleh The Guardian, kebocoran ini disebut sebagai "kebocoran data terbesar dalam sejarah jurnalisme investigasi".
Sebagai bentuk refleksi, film The Laundromat (2019) yang disutradarai Steven Soderbergh hadir sebagai satire tajam atas sistem hukum dan keuangan global yang cacat dan permisif. Dengan pendekatan humor gelap dan narasi yang jenaka namun menggigit, film ini mengekspos bagaimana celah-celah hukum dimanfaatkan oleh firma seperti Mossack Fonseca untuk menciptakan struktur perusahaan fiktif yang digunakan oleh klien-kliennya demi menghindari pajak dan tanggung jawab hukum. The Laundromat menggugah kesadaran penonton bahwa keadilan hukum dan finansial global bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan etika dan keberpihakan.
Implikasi yang Timbul: Sosial dan Ketimpangan Global
Kejahatan keuangan transnasional berdampak langsung terhadap potensi pendapatan negara, terutama di negara-negara berkembang. Menurut laporan dari Brookings Institution, sejak tahun 1980, diperkirakan sekitar $1,3 triliun telah keluar dari Afrika Sub-Sahara dalam bentuk aliran keuangan ilegal, yang mencakup penghindaran pajak, pencucian uang, dan korupsi. Aliran dana ini berakibat mengurangnya sumber daya yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sosial dan ekonomi di kawasan tersebut.
Selain itu, laporan dari UNCTAD menyatakan bahwa negara-negara berkembang kehilangan miliaran dolar setiap tahunnya akibat aliran keuangan ilegal, yang setara dengan dua kali anggaran pendidikan atau lima kali anggaran kesehatan di beberapa negara. Hal tersebut sangat terlihat jelas bahwa dana yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur publik, justru berakhir di rekening rahasia luar negeri. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang semakin melebar antara negara maju dan berkembang. Sistem fiskal global yang timpang menyebabkan negara berkembang kesulitan mengejar pembangunan karena kekayaan mereka “ditransfer” ke pusat keuangan dunia.