Pemusnahan mangga impor ilegal dari Thailand seharusnya menjadi akhir dari satu babak pelanggaran hukum. Cairan EM4 telah disiramkan, biji-biji dicegah tumbuh, dan bangsa ini sekali lagi menepuk dada: "Kami berdaulat atas negeri ini." Namun beberapa jam setelahnya, rakyat datang --- bukan untuk mengutuk pelanggaran, melainkan untuk mengais mangga yang telah busuk demi sekarung gratisan. Tak peduli sudah tercemar, tak peduli itu hasil penyelundupan.
Apakah ini soal kemiskinan? Ataukah kebodohan yang dibungkus keberanian? Atau jangan-jangan --- kita harus bertanya lebih tajam --- masyarakat kita telah kehilangan rasa takut pada hal yang seharusnya ditakuti: kebenaran, hukum, dan kehormatan?
Tak jauh dari sana, di Sumatera Selatan, warga menyerbu truk kecelakaan dan menjarah mi instan seperti belanja kilat tanpa kasir. Apakah ini reaksi spontan atas peluang? Ataukah ini wajah sebenarnya dari bangsa yang katanya religius, katanya Pancasilais, katanya "berketuhanan yang Maha Esa"?
"Beragama Tapi Tak Bermoral?"
Indonesia tak kekurangan rumah ibadah, tapi krisis di akarnya adalah kekosongan iman dalam tindakan. Kita menyaksikan fenomena "Islam KTP", "Kristen KTP", dan segala bentuk identitas simbolik yang dipakai, tapi tak dihayati. Agama menjadi pajangan sosial, bukan kompas etika. Tuhan dipuja di mulut, tapi diludahi dalam perbuatan.
Bukankah Nietzsche benar saat mengatakan, "Tuhan telah mati"? Tapi mungkin yang lebih tepat hari ini adalah:
"Tuhan belum mati --- hanya ditinggalkan oleh umat yang sibuk selfie di atas kehancuran moral mereka sendiri."
Pancasila? Sila pertama adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa". Tapi apa artinya jika mereka yang mencuri, menjarah, dan memanipulasi hukum juga menyebut nama Tuhan dengan lantang?
Pancasila bukan hafalan upacara --- ia seharusnya menjadi sikap hidup. Tapi hari ini, ia hanya menjadi poster usang di dinding ruang kelas.
"Matinya Kepakaran, Hidupnya Sok Tahu"
Tom Nichols menyebut fenomena "death of expertise" --- matinya penghargaan terhadap ilmu dan para ahli. Dalam kasus mangga busuk, masyarakat justru menolak perintah bea cukai dan karantina. Mereka lebih percaya pada perut dan naluri ekonomi sesaat.
Para ahli dianggap bohong. Pakar dianggap elit. Kebenaran dianggap subjektif.