Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Wuaduh MK Hembuskan Angin Surga Praperadilan

30 April 2015   16:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:31 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14303860221934364984

[caption id="attachment_380967" align="aligncenter" width="546" caption="Gedung MK: Mahkamah Konstitusi memutuskan penetapan tersangka dalam objek praperadilan (www.kompas.com)"][/caption]

Semata Telaah Kemungkinan Perkembangan Liputan Media

Berita hangat berhembus dari gedung Mahkamah Konstitusi dua hari kemarin (28/4). MK mengabulkan sebagian permohonan judicial review atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), oleh Bahctiar Abdul Fatah, terpidana perkara korupsi bioremediasi PT Chevron Pasific Indonesia yang telah divonis 2 tahun kurungan serta denda Rp 200 juta di penghujung 2013 silam. Berbagai media lantas merilisnya dengan judul MK Putuskan Penetapan Tersangka Masuk Objek Praperadilan dan sejenisnya.

Putusan yang ditetapkan Mahkamah itu, tentu ikut menghembuskan ”angin surga” utamanya bagi pihak-pihak yang selalu bergelora mencuatkan wacana, menjadikan penetapan tersangka bagian objek praperadilan. Bukan mustahil publik akan memandangnya bagian ”Sarpin Effect” lanjutan dari kegaduhan beberapa waktu lalu. Kiranya ini lagi-lagi dampak melempemnya Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, setidaknya dalam memberikan second opinion, agar masyarakat lebih memahami kontroversi praperadilan dalam kasus dalam kisruh BG-KPK mutakhir.

Tulisan ini tidak bermaksud melongok terlalu jauh pada materi gugatan yang diputuskan MK tersebut. Melainkan, hanya sebatas memahami kemungkinan pemberitaan media di kemudian hari. Dengan harapan, putusan Mahkamah ini, tidak menggelinding secara bias, lebih-lebih berbelok sebagai pembenaran terhadap polemik kasus terkait sebelumnya. Hendaknya dipahami pula lebih komprehensif, bukan pokoke generalisasi tanpa menelisik konstruksinya poin per poin seperti putusan peradilan BG lalu. Apalagi, jangan sampai pula perkembangannya nanti hanya untuk pengalihan isu, kala masyarakat luas sedang ramai menyoal polemik eksekusi mati terhadap Mary Jane yang dibatalkan mendadak. Karena itu, perlu meresapi beberapa hal berikut.

Pertama, seiring gugatan judicial review yang diajukan oleh GM PT CPI menyangkut penambahan penetapan tersangka pada ranah praperadilan, MK juga sempat menerima permohonan serupa. Tepatnya ketika putusan hakim Sarpin dalam praperadilan BG, digugat lewat uji materi oleh Ketua Umum DPP SBSI, Muchtar Pakpahan, bulan Maret kemarin. Hanya, ia meminta payung hukum pada Mahkamah untuk menegaskan bahwa Pasal 77 KUHAP tidak bisa ditafsirkan lain.

Dengan begitu, penetapan tersangka tetap bukanlah objek praperadilan sebagaimana ketentuan hukum pidana selama ini. Tapi, gugatannya ditolak oleh MK, dengan alasan tercatat hal-hal yang kurang lazim di dalamnya. Mahkamah juga berpendapat, petitum permohonannya di luar kewenangan, yakni memertentangkan Pasal 77 KUHAP dengan putusan praperadilan BG, seharusnya antara KUHAP dengan UUD (Hukum Online).

Kedua, suara hakim MK yang memutuskan soal penetapan tersangka masuk objek praperadilan baru-baru ini tidak bulat. Dari kesembilan hakim yang memberi kesimpulan, tiga di antaranya berpandangan penetapan tersangka bukan termasuk objek praperadilan. Sedangkan satu hakim lainnya mengajukan concurring opinion (alasan berbeda) saat pembacaan amar putusan.

Ketiga, menariknya dalam pengujian ketentuan pasal-pasal KUHAP mengenai penetapan tersangka berikut kaitannya dengan objek praperadilan itu, ternyata disebutkan perbedaannya dengan UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 yang lebih maju, karena telah lebih jelas menggariskan syarat jumlah alat bukti. Yaitu, minimal dua alat bukti yang meyakinkan. Sementara, kitab hukum acara pidana yang biasa dipakai oleh kepolisian dan kejaksaan, menentukannya hanya dengan frase ”bukti permulaan”, ”bukti yang cukup” dan ”bukti permulaan yang cukup” tanpa batasan jumlahnya.

Keempat, boleh dibilang putusan MK kali ini menjadi blunder, untuk tidak dikatakan bumerang, utamanya bagi kepolisian yang telah dengan gempita menempuh praperadilan untuk kasus BG dulu. Sebab, dampaknya bukan hanya ”memenangkan BG” saat kisruh dengan KPK, tapi ndilalah juga menjadi otokritik telak bagi jajaran Bhayangkara akhirnya. Kasus yang diajukan judicial review itu sendiri, ditangani Kejagung sebelumnya dan sempat berbalut tudingan kriminalisasi.

Sempat pula mencuat anggapan berdasarkan pernyataan Ketua MK, Arief Hidayat, bertolak dari putusan Mahkamah tersebut, justru KPK bisa menangani kasus BG dengan melakukan penyelidikan, penyidikan dan tahapan lain kembali. Bila jajaran lembaga antirasuah meyakini dengan bukti-bukti yang valid, perkara BG masih terbuka untuk ditangani lagi. Kontras dengan putusan hakim Sarpin lalu (Tempo).

Lebih dari itu, amar putusan MK menyatakan pasal-pasal KUHAP yang diuji materi, hanya inkonstitusional bersyarat yang rasanya mengharuskan penjelasan lebih komplit. Pada sisi lain, dengan penghapusan beberapa pasal dan penambahan frase ”minimal dua alat bukti”, mungkinkah hakim Mahkamah yang menyepakati penetapan tersangka menjadi objek praperadilan terbilang melampaui kewenangan? Bukankah lembaga yang berwenang membuat dan mengubah Undang-Undang adalah DPR? Taruhlah dalam putusan Mahkamah tentang kontroversi Pilkada Langsung dan Pilkada oleh DPRD terdahulu, Mahkamah menyerahkan penafsiran bahkan perubahan regulasinya kepada anggota dewan sepenuhnya.

Entah apakah putusan MK demikian akan diterima bulat-bulat oleh publik, atau justru memerpanjang polemik. Lalu, jika memang telah diyakini pemberlakuannya, apakah tidak perlu pengaturan selanjutnya tentang limitasi praperadilan sebagai ruang menggugat penetapan tersangka? Misalnya, ajuan praperadilan terbatas pada rentang waktu seseorang baru ditetapkan sebagai tersangka, perkaranya belum mendapat putusan inkrah dari pengadilan, sebelum banding dan kasasi, atau prasyarat lainnya yang tetap mengindahkan rasa keadilannya. Sebab, bila tanpa disertai pengaturan yang konkret, bagaimana dengan serentetan kasus yang telah diputuskan? Monggo disempurnakan!

Sumber bacaan:

-Kompas Putusan MK tentang Praperadilan

-Tempo Putusan MK tentang Praperadilan

-Jawa Pos Putusan MK tentang Praperadilan

-Metro News Putusan MK tentang Praperadilan


Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun