Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Turbulensi Sidang Kedelapan Ahok dan Kritik untuk MUI

6 Februari 2017   17:39 Diperbarui: 6 Februari 2017   18:42 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.kompas.com

Gemas menyaksikannya di layar kaca. Apakah tidak peka situasi yang berkembang, hingga memilih frase ”tidak manusiawi” dalam pernyataannya? Ujaran itu jelas amat sensitif. Tidak manusiawi bagaimana? Saat itu, semula alasannya karena Kiai MA dimintai keterangan selama hampir 7 jam. Apakah memang tidak ada waktu jedah istirahat samasekali selama persidangan?

Bila kondisi fisik dan usia Kiai MA yang menjadi alibi, mengapa tidak menghadirkan anggota MUI lain yang lebih muda dan garang? Bukankah pengurus lembaga fatwa itu banyak, seperti dilontarkan Ikhsan sendiri dalam program Apa Kabar Indonesia Malam TVone? Lagi pula perumusan sikap keagamaan tentang kasus Ahok melibatkan banyak unsur struktur MUI, sehingga mestinya siapapun yang turut serta di dalamnya pasti mengerti persoalannya untuk kemudian siap dan bersedia memberi keterangan di persidangan?

Lalu, saya coba menelisik beragam pemberitaan. Antara lain disebutkan, hakim sempat menanyai Kiai MA dalam persidangan tentang hal itu (Kompas-2). Artinya, ketika dirasakan koordinasi MUI sendiri kurang paten sebelumnya –bukan soal materi kesaksian– jangan lantas menyemprot pihak lain semisal hakim maupun JPU, apalagi dengan asumsi tidak manusiawi yang menggugah rasa ingin tahu dan intuisi khususnya awak media massa.

Apakah tidak disadari pula dengan mengiyakan Kiai MA menjadi saksi, sekalipun dikatakan atas kehendak Kiai MA sendiri, sejatinya telah menempatkannya pada posisi yang rentan menuai hal-hal yang tidak terduga, maupun kesan interaksi yang tidak diharapkan selama persidangan. Dari pengalaman banyak sidang pengadilan, saksi bisa jadi laksana ”terdakwa” bagi pembela hukum, sama halnya terdakwa bagi JPU. Posisi saksi juga bukan mustahil menjadi sasaran tembak pascasidang.

Cemas masih bergelayut, saya terus mengikuti reportase televisi, media online, bahkan situs jejaring sosial. Rupanya polemik bergeser soal tindakan pihak Ahok yang dianggap berlebihan dan macam-macam itu kepada Kiai MA selama persidangan. Tak sedikit tokoh NU dan kaum nahdhiyin dari berbagai daerah juga sontak bereaksi, terlebih setelah ujaran ”Kiai MA bukan hanya Ketum MUI, tetapi juga Rais Am PBNU sering terlontar.

Reaksi demikian tentu sangat sangat bisa dipahami. Yang tak bisa dipahami ulah para oknum (bukan kalangan nahdhiyin) seakan turut mengail di air keruh. Tengok saja interaksi di Twitter misalnya, betapa horor setidaknya pada malam hari setelah persidangan sampai keesokan harinya. Diiyakan atau tidak, indikasi tersebut sungguh terasa. Meski pengguna Twitter tak mudah diidentifikasi secara riil, tetapi dengan mencermati seksama kicauan yang meruah juga tidak terlalu sulit menganalisisnya.

Bagaimana dengan perlakuan Ahok dan sejumlah penasehat hukumnya? Tanpa bermaksud menafikan, rasanya sudah lebih dari cukup sekalian pihak menyampaikan sikap. Mulai dari sekadar kritik hingga teguran, bahkan tak dipungkiri adanya kecaman dan hujatan. Bila saya masih turut menambahkan, kiranya akan menjadi berlebihan.

Sementara, di antara sesepuh NU berharap agar kita menyikapi secara proporsional, sama halnya para figur lainnya yang mewanti-wanti kita ikut menjaga situasi tetap kondusif dan tidak berbuat anarki. Mungkin, pihak Ahok kudu melakukan pembenahan dalam upaya cross examination, tetapi bukan berarti pelemahan daya kritis untuk menggali kebenaran.

Kini, sebagaimana pernyataan Ikhsan, pihak MUI masih dirundung kekhawatiran, sisa para saksi yang rencananya dihadirkan dalam persidangan berikutnya akan mendapat perlakuan serupa terhadap Kiai MA pekan lalu (Jawa Pos). Entah apakah itu juga sinyalemen turbulensi selanjutnya? Masyarakat kecil seperti saya hanya berharap, pihak MUI tidak tergopoh-gopoh melontarkan statemen yang sensitif.

Yang perlu diingat pula, dengan pikiran dan hati yang adem hendaknya dipilah, bahwa MUI bukanlah NU dan sebaliknya. Bagaimana pun gerbong NU terlalu besar untuk dibenturkan apalagi terseret dalam pusaran hanya Pilgub DKI Jakarta kali nanti. Lebih-lebih karena eksistensinya senantiasa didamba sebagai peneduh bagi segenap komponen bangsa di negeri Bhinneka Tunggal Ika ini.

Dan selaku bagian dari rakyat awam, saya tidak bosan-bosan berharap, MUI segera menyatakan rekomendasi nyata menolak eksistensi GNPF-MUI sehingga juga lekas membubarkan sendiri. Selain suara-suara terus mengemuka walau mungkin dianggap sayup-sayup, juga demi kemaslahatan MUI sendiri di kemudian hari. Salam damai, kedamaian selalu akan terasa saat menginsafi bahwa kita semua adalah saudara di Rumah Kita Indonesia. Wallahu a’lam bis-shawab!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun