Mohon tunggu...
Djamaluddin Husita
Djamaluddin Husita Mohon Tunggu... Lainnya - Memahami

Blogger, Ayah 3 Putra dan 1 Putri. Ingin menyekolahkan anak-anak setinggi yang mereka mau. Mendorong mereka suka membaca dan menulis (Generasi muda harus diarahkan untuk jadi diri sendiri yang berkarakter).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pemborosan dalam Tradisi Meugang di Aceh

4 Juni 2016   11:25 Diperbarui: 4 Juni 2016   12:51 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang daging di Pasar Tradisional Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh. (Kompas TV/Raja Umar)

Bulan Ramadhan tahun ini hanya menghitung hari saja. Insya Allah, kalau tidak ada perubahan, tanggal 6 Juni 2016, kita sebagai muslim sudah akan memasuki bulan penuh berkah. Kita akan memulai menahan haus dan lapar serta hal-hal lain yang telah ditentukan. Tentu, sebagaimana biasanya, dalam menyambut bulan Ramadhan sudah ada persiapan-persiapan yang dilakukan, baik persiapan fisik maupun mental.

Khususan masyarakat Aceh, saat memasuki bulan Ramadhan, dengan serta-merta akan menyambutnya dengan ritual mak meugang. Ritual ini dilakukan dengan membeli daging sapi atau kerbau dan memasaknya dengan berbagai selera yang diinginkan, terutama masakan "merah" khas Aceh. Namun, juga tidak tertutup kemungkinan menu-menu lainnya. Hal yang pasti adalah pada saat meugang setiap keluarga di Aceh pasti menyantap daging. 

Ritual meugang itu adalah ritual yang perlu dipertahankan. Tetapi yang harus dikritisi bila dilakukan secara berlebihan. Saya melihat di Aceh ada perasaan gengsi pada saat meugang. Bila tidak membeli daging banyak-banyak sepertinya tidak afdhal. Ada perasaan malu bila dilihat tetangga seorang kepala keluarga hanya membawa pulang 1 kg daging. Padahal, 1 kg daging sudah cukup untuk satu keluarga kecilnya. Terkadang harus berhutang terlebih dahulu hanya untuk membeli daging meugang sehingga seakan-akan menyambut Ramadhan begitu merepotkan.

Saya teringat waktu saya masih kecil (SD), kebetulan Bapak pembeli karet hasil garapan masyarakat di kampung. Memang, saat itu jauh-jauh hari masyarakat sudah mengancang beli kerbau untuk disembelih persiapan meugang. Tetapi, meskipun demikian ada juga yang terhutang sampai berbulan-bulan. Atau bahkan ada sampai meugang sekali lagi masih terikat utang.

Memang, terkadang ada anggapan dan pemikiran, bukankah ritual meugang dalam rangka menyambut Ramadhan hanya dilakukan sekali dalam satu tahun? Mungkin okelah kalau dulu menyantap daging sapi atau kerbau satu tahun sekali. Tetapi sekarang, daging-daging bukan hal yang langka. Bahkan, hampir tiap kampung saat maulid menyembelih kerbau atau sapi. Atau pada saat hari Raya Qurban. Jadi, tidak ada alasan lagi mengatakan hanya setahun sekali makan daging.

Mungkin, bila membeli daging meugang tidak merepotkan tidak masalah. Bila  akan merepotkan keuangan ini harus menjadi pertimbangan. Jangan sampai, pemborosan itu karena ada perasaan tidak enak karena tradisi meugang sehingga sibuk berhutang untuk memenuhi sebuah tradisi atau adat yang tidak dianjurkan dalam Islam.

Kemudian, akibat dari memaksakan diri akan mempengaruhi dalam melaksanakan ibadah puasa yang merupakan ibadah wajib. Sebab, dompet kosong, berbanding lurus dengan kekhusukan dalam melaksanakan berbagai ibadah, apalagi di bulan puasa.

Alangkah indahnya bila selama sebelas bulan, mencari duit sebagian disisihkan untuk kebutuhan selama bulan puasa dan hari raya Idul Fitri. Bukan menabung hanya untuk beli daging meugang lalu habis sampai di situ. Bila ini dilakukan akan lebih bermakna ibadah. Mau belu daging tidak masalah bila beli hanya sekedarnya saja seperti pada hari-hari biasa. 

Terpenting dalam menyambut bulan suci Ramadhan adalah mempersiapkan diri baik fisik maupun mental semata-mata untuk kekhusukan dalam menjalan ibadah terutama puasa selama bulan Ramadan. Bagaimana dengan meugang? Selama ada pemborosan di sana hukumnya bisa jadi haram. Wallahu Ta'ala Bishawab..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun