Pada hari Senin (13/10/2025) siang, langit Angkinang Selatan hari itu memanggul beban kelabu yang pekat, seolah menyimpan janji agung yang hendak ditumpahkannya.Â
Siang menjelang sore di sekitar MTsN 3 Hulu Sungai Selatan (HSS), tepatnya di RT 3 Desa Angkinang Selatan, terasa sunyi namun penuh antisipasi.Â
Gumpalan awan mendung tebal merayap, menyelimuti wajah birunya langit, menjadi isyarat tak terucapkan bahwa sebentar lagi, bumi akan disirami berkah. Di bawah kanvas langit yang muram itu, tegak berdiri dua pilar beton pondasi gerbang madrasah.Â
Mereka menjulang, masih kasar, dengan tulang-tulang besi yang mencuat angkuh ke angkasa. Bukan sekadar tiang penyangga, mereka adalah simbol.Â
Simbol dari sebuah proses yang belum usai, sebuah harapan besar yang sedang dicor, tentang cita-cita tinggi yang akan menjadi gerbang bagi generasi-generasi masa depan.Â
Tiang-tiang itu, dalam keheningan yang menunggu hujan, seolah membisikkan sebuah renungan : Bahwa setiap bangunan megah, setiap mimpi besar, selalu diawali dari pondasi yang sederhana.
Bahkan terlihat "mentah" seperti ini. Ia butuh ketahanan, butuh waktu, dan butuh kesabaran untuk melihatnya berdiri sempurna. Begitu juga dengan anak-anak bangsa yang menuntut ilmu di balik gerbang ini.Â
Mereka adalah bibit-bibit yang sedang ditempa, diasah di bawah naungan madrasah. Mereka adalah proyeksi masa depan, yang hari ini mungkin masih "kasar" dan penuh kekurangan, namun sedang disiapkan untuk menjadi pilar-pilar kokoh bagi peradaban.Â
Pepohonan rindang di sisi kiri terlihat legam kontras dengan cahaya suram di baliknya, seakan menjadi saksi bisu atas setiap langkah kaki, setiap pelajaran, dan setiap tetes keringat yang jatuh di madrasah ini.Â
Hujan yang sebentar lagi turun bukanlah sekadar air, tapi metafora. Ia adalah ujian, ia adalah pembersih, dan ia adalah nutrisi. Sama seperti kesulitan yang akan membentuk jiwa para santri dan pelajar di sini.Â