Pada hari Ahad (12/10/2025) pagi jelang siang. Di bawah langit Banua Enam, Provinsi Kalimantan Selatan, yang cerah, saya kembali menapaki jejak kenangan dengan si motor butut yang setia.Â
Pagi itu, perjalanan saya hanya sejauh empat kilometer dari rumah di Desa Angkinang Selatan, namun terasa seperti menempuh rentang waktu dan rindu.Â
Tujuan saya adalah gerbang megah yang memisahkan dua saudara kandung, batas Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) dengan Hulu Sungai Tengah (HST).Â
Tugu yang menjulang di antara rimbunnya pohon---berdiri tegak di perbatasan Desa Bamban Utara, Kecamatan Angkinang (HSS) dan Pangambau Hilir Luar, Kecamatan Haruyan (HST)---bukan sekadar penanda administrasi.Â
Ia adalah simbol pertemuan dan perpisahan, awal dan akhir. Di sana, tertulis besar kalimat penuh makna dari Kabupaten HSS : "SELAMAT JALAN DARI BUMI RAKAT MUFAKAT."Â
Membaca kalimat itu, hati saya mendadak hangat, sekaligus terharu. Ada getaran yang tak terlukiskan. Ini bukan hanya tentang wajah batas kabupaten terkini yang gagah dan berbudaya, tetapi tentang perjalanan hidup itu sendiri.Â
Berapa banyak cerita yang telah melintas di bawah gerbang ini ? Tawa kepulangan, air mata perpisahan, langkah-langkah kaki yang mencari penghidupan, atau sekadar deru motor butut saya yang kembali membawa pulang segenggam rindu.Â
Setiap kali melintas, gerbang ini seolah berbisik, mengingatkan kita bahwa di balik batas wilayah, kita semua adalah bagian dari satu "Banua Enam" yang sama, yang terikat oleh darah, budaya, dan sungai yang mengalir.Â
Di bawah naungannya, kendaraan melaju kencang, terburu-buru menyambut takdir di kabupaten seberang. Saya hanya berdiri, menarik napas dalam-dalam, mengabadikannya dalam bingkai foto.Â
Gerbang ini adalah jangkar, pengingat bahwa ke mana pun kaki melangkah, selalu ada tempat yang menunggu kita kembali---sebuah rumah yang dibangun di atas kerukunan dan mufakat.Â