Di tepian sungai Angkinang, yang ada di sekitaran Desa Angkinang Selatan, Kecamatan Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, waktu seolah membeku, menyisakan cerita bisu tentang kejayaan yang telah pudar.Â
Airnya yang kini keruh dan dangkal, tak lagi mencerminkan riak kehidupan yang dulu begitu perkasa. Dahulu, alirannya adalah nadi, urat penghubung yang mengikat erat denyut ekonomi dan sosial desa.Â
Jukung-jukung berjejer rapi, mengangkut hasil bumi, dan pedagang dari Nagara bersorak gembira saat sampai di Pasar Angkinang.Â
Namun, zaman telah berganti. Gemerlap aktivitas itu kini hanya menjadi kenangan, tersimpan rapat dalam ingatan para sesepuh.Â
Sungai yang dulunya menjadi saksi bisu tawa riang dan semangat para pejuang ekonomi kini tercekik oleh tumpukan sampah, cermin nyata dari abainya kita pada alam.Â
Debit airnya terus menyusut, seolah ikut merasakan duka atas kehilangan martabatnya. Pandangan terkini yang nyata, bukan hanya sekadar gambar kehidupan.Â
Ini adalah jeritan pilu Angkinang, tentang sungai yang merindukan kejayaannya. Ini adalah ajakan untuk merenung, tentang apa yang telah kita warisi dan apa yang akan kita tinggalkan.Â
Akankah kita biarkan sungai ini mati perlahan, atau akankah kita bangkit, membersihkan lara yang membelenggunya, dan mengembalikan senyum pada wajahnya yang dulu begitu mempesona. (ahu)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI