Mohon tunggu...
Jurnalis Cendekia
Jurnalis Cendekia Mohon Tunggu... Aktivis-Ekonom-Penulis

Cogito Ergo Sum ; Aku berpikir maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Membangun Ekonomi Hijau Melalui Agropolitan: Integrasi Pertanian, Agribisnis, dan Urban Linkage

5 Oktober 2025   18:31 Diperbarui: 5 Oktober 2025   19:12 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (sumber: trivenly.com)

Oleh: Ahmad Syaifullah

Indonesia sedang memasuki babak baru pembangunan ekonomi hijau. Di tengah tekanan krisis pangan dan perubahan iklim, muncul satu konsep yang menawarkan solusi yang lebih realistis yaitu, Agropolitan. Ia bukan sekadar proyek pertanian, melainkan sebuah gagasan untuk menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan baru yang mampu menyeimbangkan arus ekonomi antara kota dan pedesaan. Agropolitan adalah kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian yang saling terkait dengan sektor lainnya dan wilayah sekitarnya.

Melalui pendekatan agropolitan, wilayah perdesaan tidak lagi diposisikan sebagai penyangga, tetapi sebagai motor utama yang menggerakkan roda agribisnis nasional. Pertanian, pengolahan hasil, logistik, hingga konektivitas pasar dirancang sebagai satu sistem terpadu. Model ini diyakini mampu memperkecil jurang ketimpangan antara desa dan kota, sekaligus menciptakan lapangan kerja hijau yang berkelanjutan.

Realitas di lapangan menunjukkan, sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan serius. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2024), rata-rata usia petani mencapai 54 tahun.  Hanya sekitar 21,93% petani di Indonesia berusia 19-39 tahun (petani milenial) . Generasi muda semakin menjauh dari dunia pertanian. Padahal, tanpa regenerasi, rantai produksi pangan bisa terputus dalam satu dekade ke depan. Di sinilah konsep agropolitan menjadi relevan, karena ia menawarkan sistem pertanian modern yang ramah teknologi dan menarik bagi generasi muda. 

Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional masih signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat, sektor pertanian menyumbang sekitar 12,4 persen terhadap PDB nasional, serta menyerap lebih dari 38 juta tenaga kerja. Artinya, setiap inovasi di sektor ini akan memiliki dampak ekonomi dan sosial yang besar bagi Indonesia. Agropolitan hadir sebagai strategi untuk memperkuat posisi ini melalui industrialisasi berbasis desa. Kawasan agribisnis yang ada di perdesaan juga dapat dijadikan destinasi wisata baru. Sehingga dalam konsep agropolitan, wilayah perdesaan menjadi ramai dikunjungi, menarik namun tetap mempertahankan ciri khasnya sebagai daerah yang hijau.

Sejak awal 2000-an, pemerintah sebenarnya telah mengenal konsep agropolitan. Beberapa daerah seperti Kabupaten Garut, Batu, dan Enrekang menjadi perintis. Namun, banyak program berhenti di tengah jalan karena pendekatan yang masih sektoral dan tidak berkelanjutan. Kini, dengan dukungan desentralisasi pembangunan, agropolitan kembali mengemuka sebagai pendekatan baru untuk mengintegrasikan desa dan kota secara fungsional.

Agropolitan mengandalkan prinsip urban-rural linkage, yaitu hubungan dua arah yang saling menguntungkan. Desa menyediakan bahan pangan, tenaga kerja, dan lahan produksi; sementara kota memasok teknologi, modal, dan akses pasar. Keduanya saling menopang dalam rantai nilai pertanian yang modern. Dalam konteks ini, desa tidak lagi menjadi "pinggiran", tetapi simpul strategis dari jaringan ekonomi hijau nasional.

Konsep ini dibangun di atas tiga pilar utama. Pertama, pertanian produktif yang berkelanjutan dengan praktik ramah lingkungan. Kedua, agribisnis berbasis lokal yang menambah nilai ekonomi dari hasil pertanian. Ketiga, konektivitas desa-kota yang kuat melalui infrastruktur dan teknologi digital. Jika ketiga pilar ini berjalan selaras, desa akan tumbuh menjadi pusat ekonomi baru yang mandiri dan berdaya saing.

Dalam kerangka ekonomi hijau, agropolitan juga mendorong penggunaan energi terbarukan di sektor pertanian. Bioenergi dari limbah pertanian, panel surya di lahan pertanian, hingga sistem irigasi cerdas menjadi contoh nyata penerapan inovasi hijau di tingkat lokal. Dengan cara ini, desa tidak hanya menghasilkan pangan, namun juga dapat membuka lapangan kerja baru sehingga mereduksi urbanisasi.

Namun, keberhasilan agropolitan tidak hanya diukur dari sisi infrastruktur. Faktor kelembagaan lokal menjadi penentu. Koperasi, BUMDes, dan kelompok tani modern harus menjadi penggerak utama yang mampu mengelola rantai pasok, keuangan mikro, dan kemitraan dengan sektor swasta. Tanpa tata kelola yang kuat, investasi fisik akan kehilangan arah.

Dari segi Sumber Daya Manusia (SDM), Wilayah perdesaan Indonesia tidak kekurangan potensi, mereka hanya membutuhkan pengetahuan dan keterampilan baru yang sesuai dengan tuntutan ekonomi modern. Karakteristik budaya masyarakat desa yang telah mengakar, seperti keteguhan pada nilai-nilai adat, kegigihan dalam bekerja, saling menghargai, kejujuran, serta semangat gotong royong, merupakan modal sosial yang sangat kuat. Nilai-nilai ini telah menjadi fondasi kehidupan masyarakat perdesaan selama berabad-abad, dan justru dapat menjadi katalis untuk mempercepat transformasi menuju model agropolitan yang berkelanjutan. Dengan pendampingan teknologi, akses pendidikan vokasi, dan pelatihan agribisnis yang tepat, masyarakat desa Indonesia memiliki peluang besar menjadi penggerak utama ekonomi hijau nasional.

Untuk memperkuat ekosistem agropolitan, diperlukan insentif fiskal dan akses pembiayaan inklusif. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) pertanian, dana desa produktif, dan skema investasi hijau dapat diarahkan untuk mendukung petani, UMKM pengolahan hasil, hingga startup agritech di desa. Pendekatan kolaboratif antara pemerintah, swasta, dan komunitas menjadi kunci agar nilai ekonomi tidak bocor keluar dari wilayah desa.

Salah satu aspek paling menarik dari konsep ini adalah peluang besar bagi petani milenial. Dengan dukungan pelatihan digital farming dan ekosistem e-commerce pertanian, agropolitan dapat menjembatani semangat kewirausahaan muda dengan kebutuhan sektor pangan. Kementerian Pertanian menargetkan lahirnya 2,5 juta petani milenial hingga 2025, dan kawasan agropolitan bisa menjadi ruang tumbuhnya generasi baru tersebut.

Dari perspektif bisnis, agropolitan membuka peluang rantai nilai yang lebih baik. Investasi di sektor pascapanen seperti cold storage, packaging, hingga logistik mikro menciptakan efek domino ekonomi. Desa menjadi sentra produksi sekaligus pusat distribusi, memotong rantai pasok panjang yang selama ini merugikan petani, adanya jarak yang jauh antara derah penghasil bahan baku (pedesaan) dan Industri yang cenderung berada di wilayah perkotaan sehingga mengakibatkan biaya distribusi yang tinggi. Oleh karena itu model agropolitan ini juga memperkuat ketahanan pangan lokal sekaligus menekan emisi karbon dari transportasi jarak jauh.

Meski demikian, masih banyak tantangan yang harus dijawab. Fragmentasi lahan, akses modal terbatas, serta fluktuasi harga komoditas menjadi hambatan klasik. Oleh karena itu, agropolitan perlu didukung dengan kebijakan inovatif dengan memformalisasi sektor pertanian seperti adanya asuransi pertanian, kontrak farming, dan sistem informasi pasar real-time agar petani dapat berproduksi dengan kepastian ekonomi yang lebih tinggi.

Untuk mempercepat implementasinya, pemerintah daerah dapat menyusun peta jalan agropolitan yang mencakup pembangunan infrastruktur dasar, penguatan kelembagaan lokal, dan digitalisasi layanan pertanian. Program ini perlu disertai pengawasan partisipatif masyarakat agar tetap inklusif dan akuntabel. Kolaborasi antara universitas, lembaga riset, dan komunitas desa juga penting untuk memastikan transfer teknologi berjalan efektif.

Konsep agropolitan adalah gambaran masa depan desa yang berdaya dan hijau. Ia menawarkan visi ekonomi yang tumbuh tanpa merusak lingkungan, menghubungkan desa dan kota dalam harmoni pembangunan yang berkelanjutan. Jika dijalankan dengan konsisten, agropolitan bukan hanya akan memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi juga menjadi fondasi bagi ekonomi hijau Indonesia yang mandiri, adil, dan tangguh menghadapi perubahan zaman.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun