Oleh: Ahmad Syaifullah
Ketimpangan pembangunan antarwilayah di Indonesia masih menjadi tantangan besar dalam upaya mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada Maret 2024, rasio gini nasional tercatat sebesar 0,379, menurun dari 0,388 pada Maret 2023. Namun, ketimpangan tetap tinggi di beberapa provinsi seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (0,435), DKI Jakarta (0,423), dan Jawa Barat (0,421) .
Ketimpangan ini tidak hanya tercermin dalam distribusi pendapatan, tetapi juga dalam akses terhadap infrastruktur, layanan publik, dan peluang ekonomi. Sebagai contoh, dari 541 kabupaten/kota di Indonesia, sebanyak 199 (43 persen) masih tergolong tertinggal, dengan konsentrasi tertinggi di Kawasan Timur Indonesia sebesar 62 persen .
Salah satu pendekatan strategis yang diusulkan untuk mengatasi ketimpangan ini adalah unifikasi pengelolaan lahan. Unifikasi pengelolaan lahan merujuk pada integrasi dan harmonisasi kebijakan serta tata kelola lahan antara pemerintah pusat dan daerah, guna memastikan pemanfaatan lahan yang optimal dan berkelanjutan.
Pemerintah telah mengidentifikasi pengembangan kawasan strategis sebagai langkah konkret dalam unifikasi pengelolaan lahan. Melalui pembangunan Kawasan Industri (KI), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan Kawasan Destinasi Pariwisata Prioritas (DPP), diharapkan tercipta sumber pertumbuhan ekonomi baru di luar Pulau Jawa . Namun, implementasi kebijakan ini menghadapi tantangan, terutama dalam hal koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Seringkali, kebijakan daerah tidak sinkron dengan regulasi pusat, menghambat investasi dan pembangunan infrastruktur. World Bank mencatat bahwa ketidakpastian kebijakan daerah dapat memperburuk iklim investasi, menyebabkan banyak proyek strategis nasional terhambat oleh perizinan daerah yang berbelit .
Untuk mengatasi hambatan tersebut, diperlukan revisi terhadap beberapa ketentuan hukum yang mendukung sentralisasi sementara dalam pengelolaan lahan. Misalnya, revisi terhadap UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dapat memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah pusat dalam mengawasi dan mengevaluasi kebijakan daerah .
Selain itu, penguatan peran pemerintah pusat dalam pengawasan pengelolaan keuangan daerah juga penting. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi APBN dan APBD menegaskan pentingnya optimalisasi anggaran daerah dengan mendorong belanja yang lebih produktif dan selaras dengan program nasional .
Dalam konteks pembangunan desa, Kementerian PPN/Bappenas meluncurkan Indeks Desa sebagai indikator tunggal dalam mengukur capaian pembangunan desa. Indeks ini bertujuan untuk menekan ketimpangan antara perkotaan dan perdesaan, serta antara Kawasan Barat dan Timur Indonesia .
Data BPS menunjukkan bahwa pada Maret 2024, Gini Ratio di daerah perkotaan tercatat sebesar 0,399, sementara di perdesaan sebesar 0,306. Meskipun terjadi penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, ketimpangan masih menjadi isu yang perlu mendapat perhatian serius . Unifikasi pengelolaan lahan juga dapat mendukung upaya pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan. Pada Maret 2024, tingkat kemiskinan nasional turun menjadi 9,03 persen dari 9,36 persen pada Maret 2023, dengan jumlah penduduk miskin sebesar 25,22 juta orang .
Dengan mengintegrasikan kebijakan pengelolaan lahan, pemerintah dapat memastikan bahwa pembangunan infrastruktur dan investasi diarahkan ke daerah-daerah yang membutuhkan, sehingga menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, keberhasilan unifikasi pengelolaan lahan sangat bergantung pada komitmen dan kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.