Eh novel itu udah keluar belum ya? Aku ga sabar mau beli.
Belum.., Nanti palingan satu bulan lagi baru keluar, kan kita belinya yang bajakan.
Begitulah kira-kira percakapan yang rutin saya lakukan dengan teman sejawat tiap kali penulis favorit kami mengeluarkan karya terbaru. Kami dengan setia menunggu karyanya yang terbit hampir tiap paruh tahun sebelum terpajang di rak toko buku langganan meski harus 'mengantri giliran'.Â
Percakapan yang tertinggal di sudut memori terdalam kembali mencuat ketika saya mencoba membandingkan situasi setelah merantau dengan apa yang saya hadapi sebelumnya.
Untuk memenuhi hobi membaca, saya biasanya memiliki kebiasaan menabung beberapa saat sebelum membeli buku. Sampai saat ini kebiasaan tersebut masih berjalan, namun dengan perbedaan yang besar: Orisinal vs Bajakan.
Kalian mungkin bertanya-tanya dan sudah menaruh persepsi negatif duluan ketika membaca kata bajakan. Tapi tunggu sebentar, tahan omelan kalian. Biarkan saya mencoba menjelaskan terlebih dahulu. Ini tidak akan memakan waktu, hanya sepelemparan batu saja.
Sebelum reda sendiri kejengkelan kalian, saya harap tulisan ini bisa menjadi pemantik bagi kenangan lama ataupun rasa penasaran yang berujung pada pemahaman bersama.
Kilas Balik Masa SMP: Ketika Buku Bajakan (terpaksa) Dinormalisasi
Mundur beberapa tahun ke belakang, ketika itu saya hanyalah seorang siswa sekolah biasa yang hobi membaca. Hobi ini mulai terbentuk saat berada di Sekolah Dasar (SD) yang didukung oleh lokasi sekolah yang berdekatan dengan gedung Perpustakaan Proklamator Bung Hatta. Hatta? Wakil presiden pertama kita? Benar, kalian tidak salah baca.Â
Saya lahir dan tumbuh di kota kelahiran Mohammad Hatta: Bukittinggi. Perpustakaan Proklamator Bung Hatta sendiri merupakan perpustakaan nasional yang dibangun untuk mengenang jasa beliau sebagai tokoh penting bagi kemerdekaan Indonesia. Terdapat puluhan ribu koleksi buku di dalamnya. Saat itu saya menjadi pengunjung rutin yang bisa melibas tiga sampai lima buku tiap minggunya.Â
Sayangnya, privilege ini sudah tidak saya rasakan ketika menginjak bangku SMP. Lokasi sekolah yang lebih jauh menghalangi saya untuk sering berkunjung. Alhasil, saya mulai memiliki kebiasaan menabung demi bisa membeli buku.
Pada awalnya saya kebingungan mau membeli dimana karena tidak ada toko buku yang besar dan lengkap di Bukittinggi. Gramedia sendiri hanya ada di kota Padang dan merupakan satu-satunya cabang yang ada di Sumatera Barat. Â
Singkat cerita, akhirnya saya menemukan sebuah lapak buku yang terselip diantara lapak-lapak baju yang berjejer di kawasan dagang pusat kota. Meskipun tidak menjual banyak buku, namun lapak ini selalu update novel-novel terbaru yang ramai diminati.