Oleh: Hansen, S.KM., M.KL (Dosen Program Studi S1 Kesehatan Lingkungan)
Samarinda - Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang sedang gencar dilaksanakan di berbagai daerah di Indonesia sejatinya merupakan sebuah terobosan yang patut diapresiasi. Tujuan mulianya sangat jelas yaitu meningkatkan status gizi anak, agar tumbuh sehat dan cerdas. Namun, ironisnya, belakangan ini publik dikejutkan oleh maraknya kasus keracunan makanan yang justru bersumber dari program MBG. Dalam kurun waktu 9 (sembilan) bulan terakhir (sejak Januari 2025 sampai 22 September 2025) sejak peluncuran MBG, tercatat sudah ada beberapa kasus keracunan yang tersebar di tiga zona yaitu Wilayah I (Pulau Sumatera dan sekitarnya). Wilayah II (Pulau Jawa dan sekitarnya) dan Wilayah III (Kalimantan, sulawesi, Papua, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku). Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar, mengapa program yang bertujuan menyehatkan justru menimbulkan masalah kesehatan ?
Keracunan Makanan: Masalah Kesehatan Masyarakat yang Serius
Pada kasus MBG, pola yang terjadi cukup jelas, yaitu makanan diolah secara massal, dan sering dalam jumlah ribuan porsi, kemudian didistribusikan ke berbagai sekolah. Proses distribusi ini memerlukan waktu yang tidak singkat, seringkali tanpa memperhatikan rantai dingin (cold chain) atau standar keamanan pangan yang memadai. Dalam kondisi tropis Indonesia dengan suhu yang tinggi, makanan yang dibiarkan pada suhu ruang lebih dari dua jam menjadi ideal bagi bakteri patogen seperti Salmonella, E. Coli, maupun Staphylococcus aureus untuk berkembang biak.
Dari perspektif kesehatan lingkungan, ada beberapa faktor risiko yang perlu ditelaah seperti: sanitasi dapur dan air bersih (air yang digunakan untuk mencuci bahan makanan maupun peralatan seringkali belum terjamin kualitasnya. Padahal, air yang terkontaminasi bakteri atau logam berat dapat menjadi jalur masuk patogen ke dalam makanan); pengolahan dan penyimpanan makanan (pengolahan makanan yang tidak higienis mulai dari cara mencuci bahan mentah, proses memasak yang tidak mencapai suhu aman, hingga penyimpanan yang tidak sesuai standar menjadi titik kritis utama serta penyimpanan dalam wadah terbuka atau tanpa pendinginan membuat makanan cepat rusak); transportasi dan distribusi (tidak jarang makanan MBG yang diangkut dalam wadah terbuka, ditumpuk dalam kendaraan tanpa pendingin, bahkan terkena paparan debu dan asap kendaraan di jalanan. Distribusi yang memakan waktu berjam-jam tanpa pengendalian suhu meningkatkan risiko makanan basi); perilaku higiene penjamah makanan (faktor manusia juga sangat menentukan, penjamah makanan yang tidak mencuci tangan dengan benar, tidak menggunakan sarung tangan, atau bekerja dalam kondisi tidak sehat dapat menjadi sumber kontaminasi makanan).
Dampak Jangka Pendek Dan Panjang
Keracunan makanan umumnya menimbulkan gejala akut seperti mual, muntah, diare, sakit perut, hingga dehidrasi. Pada anak-anak, kondisi ini bisa lebih parah karena daya tahan tubuh mereka belum sekuat orang dewasa. Kasus terburuk bahkan dapat menjadi kematian. Namun sering terlupakan pada jangka panjang, keracunan berulang dapat mengganggu penyerapan gizi yang dapat menyebabkan stunting, dan menurunkan kualitas hidup. Hal ini ironis, mengiingat MBG sejatinya dirancang untuk memperbaiki status gizi anak bangsa.
Mengapa Kasus MBG Terulang ?
Meski kita sudah tahu bahwa kasus MBG terus terulang, apa penyebab yang mendasar dari kasus tersebut ?
- Orientasi kuantitas, bukan kualitas. Program MBG sering dikejar target jumlah porsi yang banyak dengan biaya yang terbatas. Akibatnya, kualitas bahan baku, standar higienitas, dan distribusi sering diabaikan.
- Kurangnya pengawasan. Lembaga seperti Dinas Kesehatan dan BPOM tidak mungkin mengawasi setiap titik produksi dan distribusi. Kelemahan sistem pengawasan inilah yang membuka celah terjadinya kasus
- Keterlibatan pihak ketiga. Banyak program MBG melibatkan vendor atau ketering lokal yang belum tentu berpengalaman dalam produksi massal dengan standar keamanan pangan.
- Minimnya edukasi. Masyarakat, termasuk guru dan orang tua, seringkali belum dibekali pengetahuan untuk mengenali tanda awal makanan yang tidak layak konsumsi.
Apabila serius menjadikan MBG sebagai program unggulan nasional, maka aspek kesehatan masyarakat dan kesehatan lingkungan harus menjadi fondasi utama. Adapun beberapa langkah yang perlu diperhatikan adalah
- Penerapan standar keamanan pangan yang ketat. Setiap penyedia MBG wajib memiliki sertifikasi laik hygiene dan sanitasi. Proses pengolahan, penyimpanan, dan distribusi harus memenuhi standar HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)
- Penguatan pengawasan lintas sektor. Tidak cukup hanya Dinas Pendidikan yang terlibat. Harus ada kolaborasi dengan Dinas Kesehatan, BPOM, bahkan akademisi untuk melakukan monitoring rutin
- Apabila memungkinkan diperlukan pengendalian distribusi berbasis teknologi. Menggunakan sistem logistik dingin (cold chain) terutama untuk makanan berprotein tinggi. Pemerintah daerah perlu berinvestasi pada fasilitas ini agar makanan tetap aman dikonsumsi meski jarak distribusi jauh.
- Edukasi penjamah makanan. Semua tenaga katering dan pengolah MBG harus mendapatkan pelatihan standar higiene pangan. Pengawasan mendadak juga perlu dilakukan untuk memastikan kepatuhan.
- Keterlibatan sekolah dan masyarakat. Guru dan orang tua harus di ajak menjadi mitra pengawas. Apabila menemukan makanan yang berbau tidak sedap atau tampak basi, harus berani melaporkan dan menolak untuk dibagikan kepada anak-anak.
- Transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah harus membuka data kasus keracunan MBG secara transparan. Dengan demikian, evaluasi dapat dilakukan berbasis bukti, bukan sekedar formalitas.
Program Makanan Bergizi Gratis adalah ide brilian yang bisa menjadi investasi besar bagi kualitas generasi Indonesia. Namun, niat baik tidak boleh berakhir dengan tragedi kesehatan masyarakat. Keracunan makanan akibat MBG adalah alarm keras bahwa kita belum serius membangun sitem pangan yang aman.
Kesehatan lingkungan mengajarkan kita bahwa makanan bukan hanya soal gizi, tetapi juga soal kebersihan, sanitasi, air, distribusi, dan perilaku manusia. Jika faktor ini diabaikan, maka makanan bergizi bisa berubah menjadi racun.
Sudah saatnya kita berbenah, dari orientasi kuantitas ke kualitas, dari sekedar membagi makanan ke membangun sistem pangan yang aman, sehat, dan berkelanjutan. Hanya dengan ini, program MBG benar-benar bisa menjadi penopang generasi emas Indonesia, bukan penyebab luka kolektif akibat keracunan massal yang berulang.