Oleh: Abdul Halim, PhD (Wakil Dekan 1 FKIP, UMKT)
umkt.ac.id, Samarinda - Di era ketika segalanya bisa dihasilkan dalam hitungan detik, kita sedang menyaksikan sebuah ironi menyakitkan: manusia makin jarang hadir dalam karyanya sendiri.
Beragam tugas kuliah kini lahir dari mesin. Tidak salah memang, Generative AI seperti Chatgpt dan DeepSeek hadir bukan untuk dijauhi. Ia adalah alat bantu, seperti kalkulator dalam hitungan, atau mesin ketik dalam penulisan. Namun sayangnya, banyak mahasiswa hari ini memperlakukannya bukan sebagai alat, melainkan sebagai pengganti diri.
Setiap hari saya membaca kumpulan tugas yang diserahkan. Rapi. Kalimatnya terstruktur. Judulnya meyakinkan. Tapi begitu dibaca lebih dalam, terasa sunyi. Tidak ada denyut kritis. Tidak ada pergulatan ide. Tidak ada keterlibatan batin. Tulisan-tulisan ini bukan ditulis, tapi ditarik dari mesin dan diserahkan apa adanya. Tragisnya, tidak sedikit yang menyebutnya sebagai "karya pribadi."
Yang lebih mengkhawatirkan bukanlah penggunaan AI-nya, melainkan kealpaan berpikir manusianya. Tulisan bukan sekadar susunan huruf dan paragraf. Ia adalah jejak dari perjalanan pikiran. Namun yang kini banyak saya temukan justru kebisuan: tidak ada opini, tidak ada keberpihakan, bahkan tidak ada rasa ingin tahu. Mahasiswa kita, entah karena malas berpikir atau terlalu percaya pada mesin, memilih menjadi penonton dari proses kreatif yang semestinya mereka jalani. Padahal, di dunia akademik, yang paling berharga justru proses menggali. Proses mempertanyakan. Proses mengutak-atik ide hingga ia terasa benar dan pantas. Tapi proses ini memudar, digantikan oleh satu klik "generate".
Inilah wajah baru plagiarisme yang tak disadari: bukan menjiplak orang lain, tapi menyerahkan nalar pada mesin, lalu mengakuinya sebagai hasil sendiri. Lebih halus memang, tapi sama mengkhianatinya. Pendidikan seharusnya membentuk nalar, bukan sekadar menghasilkan dokumen. Sayangnya, yang kini terjadi: tugas selesai, otak tak terpakai. Yang penting ada yang dikumpulkan.
Kita perlu bertanya: kalau AI bisa menulis, apa yang masih layak disebut sebagai "karyaku"? Jawabannya sederhana: keterlibatan manusia. Nalar. Kritik. Gagasan. Dan selama itu absen, apa pun bentuk tulisannya, seindah apa pun bahasanya, ia tetaplah tulisan kosong.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI