Mendidik para calon manajer, entrepreneur, pengambil keputusan besar dan pemikir kritis, tidak akan mampu dilakukan oleh guru artifisial dan kecerdasan buatan. Sosok-sosok pekerja dan pemikir kritis tentunya lahir dari pola pendidikan tidak konvensional dan habitat yang mendukung.
Kolaborasi dengan Guru Artifisial
Kehadirian platform pembelajaran digital dan media digital lainnya haruslah disambut sebagai kemajuan yang positif. Guru harus mampu memberikan sasuatu yang tidak dapat diberikan oleh teknologi.Â
Kehadiran guru artifisial dapat menjadi partner para pendidik untuk menciptakan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi anak didik.Â
Jika guru artifisial menyajikan ragam informasi berlimpah, maka pendidik memiliki tugas untuk menghadirkan komunitas belajar yang menekankan kemampuan berpikir, kreatif, kolaborasi, dan pemecahan masalah secara nyata dalam pengalaman belajar anak didik. Agar anak didik tidak digilas oleh benda-benda smart berbasis kecerdasan artifisial di masa depannya nanti.
Lebih lanjut pendidik berkolaborasi dengan guru artifisial untuk menghadirkan pendidikan (sekolah) yang tidak membebani anak didik dengan banyaknya materi belajar.Â
Sebagaimana asal mula sekolah di masa awal Yunani kuno. Terminologi 'skhola' yang berarti waktu senggang atau diskusi santai, wadah untuk mendapat pengetahuan yang berguna bagi kehidupan.
Berawal dari sini, sekolah harusnya menjadi wadah yang menyenangkan dan membawa perasaan bahagia dan tidak menjadi beban bagi anak didik. Sebab hingga kini masih menjamus sebuah anggapan bahwa sekolah merupakan "penjara" yang menuntut segenap anak didik bersusah payah demi kebahagiaan yang ditunda di masa depan.Â
Hadirnya guru artifisial dengan segala konten digital diharapkan dapat membantu pendidik mengahadirkan pembelajaran berbasis teknologi yang tetap menjaga pola-pola pembelajaran bermakna. Dan merawat fitrah serta membangkitkan segala potensi yang dianugerahkan Allah Swt.