Mohon tunggu...
Ummu sallamah
Ummu sallamah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Human Being

Wanita seperempat abad yang tidak banyak tahu namun banyak ingin tahu. Mari membaca dari dan sebagai manusia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hindari Justifikasi. Inilah 5 Batasan Normal/Abnormal dalam Psikologi

6 Juni 2020   19:13 Diperbarui: 7 Juni 2020   20:17 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Diakui atau tidak, kita sering terjebak dalam menilai sesuatu yang normal atau tidak normal. Bahkan mungkin sebenarnya kita tidak benar-benar paham apa batasan dari normal tersebut. Dan benarkah perilaku yang tidak sesuai dengan nilai kewajaran seseorang boleh dikatakan tidak normal?

Agar terhindar dari segala tendensi penghakiman individual, maka kita akan membahas bersama mengenai 5 karakteristik dari perilaku abnormalitas yang saya himpun dari buku yang tebalnya menyamai kamus, Psikologi Abnormal dari Davison, dkk. Perlu diingat, karakteristik dalam abnormal memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga tidak bisa berdiri sendiri dan dinilai secara terpisah.

#1. Distress Pribadi

Dilihat dari dampak terhadap kesehatan mental, Stres (tekanan) dalam psikologi terbagi menjadi eustress dan distress. Eustress yaitu stress yang memberikan efek positif. Eustress membuat adrenalin kita terpacu dan meningkatkan motivasi, sehingga mental kita berhasil merespons stress secara positif. Contohnya, berbicara di depan umum, memenangkan lomba lari marathon, dan kondisi apapun yang berhasil menekan kita untuk menjadi lebih baik.

Berkebalikan dengan eustress, tekanan yang memberikan efek negatif disebut Distress, yang juga merupakan karakteristik dari abnormalitas. Distress pada kategori abnormal lebih sering berada pada tingkat negatif yang ekstrem seperti, orang yang mengalami fobia akan merasakan takut yang teramat saat berhadapan dengan objek pemicunya. Perlu digaris bawahi, distress pada abnormal harus juga disertai dengan 4 karakteristik lainnya. Jadi jelaslah kalau menangis semalaman karena diputusin doi tidak termasuk distress abnormal.

Sebenarnya, stres itu urusan persepsi. Satu tekanan yang sama, akan dipersepsikan secara berbeda antar individu. Sehingga, berbeda pula respons yang ditampakkan. Jadi, setelah mengetahui ini, diharapkan agar kita bisa lebih luas memahami kondisi individu lainnya.

#2. Disabilitas dan Disfungsi perilaku

Adalah ketidakmampuan seseorang dalam melakukan peran sebagai makhluk individu dan/atau makhluk sosial. penulis menyimpulkan bahwa disfungsi yang dimaksud adalah ketidakmampuan yang berkaitan dengan peran general manusia. Hal ini erat kaitannya dengan ketidaksesuaian fungsi yang dilakukan individu.

Para pakar Psikologi Abnormal sebenarnya tidak memiliki aturan tetap yang menentukan disabilitas seperti apa yang dianggap normal dan abnormal. Tentu, hal ini menandakan bahwa para ahli psikologi pun selalu berhati-hati dalam memberikan penjelasan, untuk menjauhi penilaian subjektif. Maka, sebagai manusia yang selalu belajar, kita seharusnya juga menganut kehati-hatian ini agar tidak terjebak dalam penilaian individu yang rentan bias.

#3. Yang tidak Diharapkan (Unexpectedness)

Seperti yang sudah dijelaskan diatas, tidak ada faktor tunggal yang bisa menggambarkan satu perilaku. Sehingga, distress dan disfungsi yang dianggap abnormal berkaitan bila hal tersebut menjadi respons yang tidak diharapkan dalam lingkungan.

#4. Pelanggaran norma

Perilaku yang melanggar norma sosial atau mengancam atau mencemaskan mereka yang mengamatinya. Memang, ini akan sangat berakibat bias terhadap budaya dan stereotipe. Namun, perlu ditekankan bahwa yang dimaksud norma sosial adalah prinsip ideal yang didasarkan dari harapan bersama untuk mencapai hubungan yang saling menyesuaikan. Maka, jelas pula bahwa mereka yang berbeda bukan berarti melanggar norma. Apapun perilakunya, jika bisa saling menyesuaikan dengan nilai-nilai sosial, tentu bisa dikatan sesuai dengan norma.

#5. Kejarangan statistik

Hal yang paling umum dikaitkan dengan abnormal adalah perilaku tersebut jarang ditemukan. Dalam psikologi, kita biasanya mendeskripsikan kejarangan secara statistik dengan kurva normal yang berbentuk lonceng. Kejarangan statistik secara eksplisit menempatkan mayoritas berada di bagian tengah, yang berarti kelompok manusia yang memiliki karakteristik sama dikatakan normal atau wajar.

Sebaliknya, kelompok minoritas yang berada di ekstrimis kiri dan kanan adalah kelompok yang memiliki kejarangan. Contohnya, rata-rata perempuan dewasa Indonesia memiliki tinggi badan 152,8 cm. Hal ini berarti perempuan dengan tinggi badan pada rentang 150-155 adalah normal. Namun, bagaimana dengan perempuan dengan tinggi badan 130 cm atau bahkan 170 cm? Apakah mereka abnormal? Tentu tidak, karena karateristik lainnya mungkin tidak termasuk. Maka, mereka hanya dikategorikan jarang secara statistik.

Setelah mengetahui lima karakteristik ini, diharapkan kita lebih bisa memahami bahwa perilaku manusia tidak hanya soal sebab-akibat tunggal saja. Manusia dengan segala kerumitannya merupakan kombinasi dari berbagai pembelajaran, pengalaman, dan pembiasaan yang terkadang belum bisa kita pahami seutuhnya antar manusia juga.

Dosen psikologi klinis saya pernah mengingatkan bahwa sulit mendefinisikan abnormal. Karena sebenarnya batasan antara normal dan abnormalitas merupakan batasan yang abstrak; sangat tipis; sesuatu yang bahkan tidak bisa kita raba dengan pancaindra. Karena itu, sebagai seorang yang belajar psikologi, Dosen saya pun mewanti-wanti untuk tidak dengan mudah menilai perilaku seseorang dikatakan normal atau tidak. Dan sebagai manusia, sudah seharusnya kita melihat manusia lainnya sebagai entitas yang unik sekaligus kompleks sehingga tidak bisa disamaratakan hanya dengan nilai kenormalan yang kaku.

Bahkan dalam ilmu psikologi pun, karakteristik tersebut hanya digunakan sebagai media pembuka untuk memahami perilaku.

Penjelasan diatas bukan dimaksudkan untuk memudahkan disematkannya label abnormal pada siapapun. Tulisan ini merupakan edukasi untuk kita agar dijauhi dari penilaian subjektif. Karena satu kriteria tunggal tidak cukup untuk menilai laku seseorang, harapannya ketika kita berhadapan dengan seseorang yang dirasa tidak sesuai kewajaran, ini membantu kita untuk selalu berpikir dua kali apakah benar perilaku tersebut ada dalam lima kriteria tersebut tanpa tendensi penghakiman apapun dari kita sebagai individu. Sehingga, kita terbiasa untuk selalu menelaah dari beberapa sudut pandang dan menghindari justifikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun