Mohon tunggu...
Hugo Hardianto
Hugo Hardianto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

terkadang ketiak yang masih basah menanti untuk diangin-anginkan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Kisah Tentang Nama

21 November 2014   04:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:15 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kayu Jati

“Berita selanjutnya. Seorang tahanan Lapas Buluk Kapal, Bekasi, ditemukan tewas bersimbah darah di selnya.”

“Tahanan tersebut diduga tewas setelah menyayat pergelangan tangannya menggunakan besi di tepian ranjang. Polisi masih menyelidiki apakah kasus ini berkaitan dengan kematian narapidana yang juga terjadi beberapa hari yang lalu. Lapas Buluk Kapal memang…”

Suara pembaca berita yang cantik itu tak terdengar lagi di telingaku. Kini aku hanya bisa melihat bibirnya yang merah merona bergerak-gerak ke atas ke bawah membacakan kelanjutan berita mengenai kematian seorang tahanan di sebuah penjara yang aku tak tahu di mana letaknya. Bulu Kapas, atau Buluk Kapal, entahlah.

Aku tadi terlalu fokus memperhatikan foto tahanan yang mati itu. Bentuk mukanya yang kotak, rahangnya yang tegas, jidatnya yang tidak terlalu lebar, tulang pipinya yang menonjol, batang hidung yang sedikit miring, mungkin karena patah bekas perkelahian, juga telinganya yang bundar dan masih mulus. Pada alisnya yang sebelah kanan terdapat bekas luka memanjang yang tak wajar, seperti bekas tersangkut pada kawat berduri ketika mencoba menerobos pagar tetangga di waktu kecil.

Semakin kuperhatikan, ada detail-detail wajah yang sepertinya aku kenali di masa lampau. Pada matanya, yang nyalang mengancam, aku menemukan jejak mata jenaka yang mengutamakan kebaikan pada dirinya. Ah, aku tahu sekarang. Wajah itu, ya, wajahnya yang keras membawaku pada masa lalu tentang seorang anak, anak laki-laki berwajah lembut yang suka duduk bercerita bersama bapaknya tentang cerita-cerita Kitab Suci.

Aku mengenalnya sejak dari lahirnya. Aku masih belum paham apa yang membuat hidupnya berakhir di suatu penjara di Bekasi sementara ibunya, dulu, kesulitan melahirkan dia di sebuah pondokan di daerah Klepu, di Sleman, Yogyakarta. Saat itu hanya ada aku dan seorang tetangga yang kebetulan saja belum pergi ke ladang karena diare. Setelah melalui proses penderitaan yang panjang, yang rasa-rasanya tak pantas kuceritakan di sini, akhirnya anak tersebut, seorang anak laki-laki, berhasil mengambil nafas pertamanya di dunia dan menangis bahagia. Ibu dan anak itu selamat, sementara tetangganya sembuh dari diare beberapa hari kemudian.

Sang ayah segera pulang setelah mendengar kabar istrinya yang melahirkan. Saat itu menjelang tengah hari, dan matahari bersinar terik sekali. Tapi sang ayah terlalu gembira dengan kelahiran anak pertamanya sehingga ia tidak bisa merasakan panas yang menyengat pada kulitnya yang hitam kusam. Ia kemudian berkata kepada istrinya, “Kita harus memberinya nama yang indah. Bukankah banyak orang bilang nama adalah harapan orang tua bagi anaknya?” “Sayang, badanku masih lelah, aku tak bisa berpikir. Kau bawa saja anak kita ke gereja, pastor di sana ‘kan pintar-pintar. Kau tahu maksudku ‘kan?” sang istri menimpali.

Sesungguhnya si ayah hendak menamai anaknya Senang, tapi ia tahu istrinya yang terlalu lelah pun akan kuat kembali demi menolak nama yang tidak keren itu. Ia akhirnya menurut dan membawa anak laki-laki mereka ke gereja, tempat di mana mereka percaya kepintaran menjelma kepada manusia-manusia yang berdoa di dalamnya.

Sang ayah sampai di pintu gereja menjelang maghrib. Ia masih terengah-engah ketika seorang pastor menjawil punggungnya dari belakang. “Permisi, selamat sore, Pak.” Sang ayah begitu gembira melihat pastor itu. Ia berkata dalam hatinya, “Memang benar kata istriku. Pastor di sini pintar-pintar. Lihat saja, tanpa kuberitahu maksud kedatanganku, ia sudah datang menghampiriku. Aku yakin ia sudah menyiapkan nama yang indah untuk anakku.”

Terjebak dalam lamunannya, sang ayah hanya bisa tersenyum di hadapan sang pastor. Pastor yang baik itu tersenyum juga, dan berkata lagi, “Selamat sore, Pak. Maaf, Bapak menghalangi jalan saya. Saya harus segera masuk ke gereja untuk memimpin misa. Permisi.” Pastor itu bahkan memberikan senyum tambahan pada sang ayah, yang dianggapnya sebagai laki-laki aneh pembawa bayi.

Sedikit kesal karena pikirannya tentang kepintaran pastor tidak sesuai, sang ayah berjalan ke arah tukang kebun gereja yang sedang membereskan selang. “Sore, Mas. Pastor di sini ada berapa ya?”

“Ada dua Pak. Cuma yang satu lagi pergi ke Bali liburan, yang satu lagi mimpin misa. Ada yang bisa saya bantu?”

“Ah, ndak. Saya baru punya anak, ini saya bawa ke sini.”

“Welah, namanya siapa Pak? Lucu ini anaknya.”

“Ini masalahnya, Mas. Istri saya minta saya membawa anak kami ke tempat pastor agar diberi nama yang indah. Katanya pastor di sini pintar-pintar kalau memberi nama. Tapi tadi saya ketemu pastor yang sedang mimpin misa, tapi dia tidak tahu kalau anak saya ini butuh nama.” Sang ayah terdiam sebentar, kemudian melanjutkan, “Mas punya usulan nama tidak?”

Tukang kebun gereja itu merenung sebentar, tertawa sedikit, lantas berkata, “Ah iya, kenalkan dulu Pak, nama saya Jono. Sebenarnya nama saya Joko Lelono, tapi teman-teman saya di sini menyingkatnya menjadi Jono. Saya diberitahu orang tua saya kalau dulu mereka ingin menamai saya Senang, tapi tiba-tiba saya sakit keras. Akhirnya nama Senang itu hanya ada dalam impian saya. Saya suka anak bapak, kayaknya nama Senang akan cocok untuknya.”

Sang ayah mengernyit mendengar nama Senang. “Sepertinya aku kenal betul dengan nama Senang,” pikirnya.

“Mari Pak, saya duluan. Masih ada pekerjaan yang lain,” timpal Jono kemudian.

***

Pada akhirnya nama Senang tidak menjadi pilihan. Ayah dan ibu anak yang manis tersebut sepakat menamainya Kayu Jati. Mereka ingin anak mereka dapat tumbuh kuat dan kokoh seperti layaknya kayu jati, yang meskipun ia ditebang dan mati, kekuatan dan kekokohannya tak hilang dimakan zaman.

Ayah Kayu Jati kembali ke gereja beberapa hari kemudian dan membaptis* anaknya secara Katolik. Orang Katolik biasa menambahkan nama baptis di depan nama mereka yang diambil dari orang-orang kudus yang telah meninggal dunia. Nama baptis ini berfungsi sebagai nama pelindung bagi orang yang diberi nama tersebut dan mereka berharap agar orang kudus yang namanya mereka pakai benar-benar melindungi dan menjaga mereka. Demikianlah Kayu Jati pun mendapat nama tambahan, Yohanes. Yohanes adalah murid kesayangan Yesus. Ya, sederhana saja. Orangtuanya ingin agar ia disayangi Yesus. Tak lebih dari itu.

Yohanes Kayu Jati, nama itu yang kemudian anak kecil itu kenalkan dan banggakan kepada semua orang semenjak ia mulai bersekolah.Ia bangga pada Yohanes. Ia bangga menjadi murid kesayangan Yesus. Ia bangga menjadi anak yang baik hati. Ia pun percaya bahwa setiap orang yang baik selalu disayang Tuhan dan tidak akan pernah disakiti. Di atas nama Kayu Jati-nya, ia berjanji bahwa kebaikan akan selalu menjadi kekuatan dalam dirinya yang tidak akan pernah hilang.

Namun kebanggaannya pada kebaikan dihancurkan pada suatu malam setelah ia dikhitan. Ia sedang berbaring di kasurnya. Ayahnya ikut duduk di sampingnya, mengipasi kemaluannya yang masih basah. Istri baru ayahnya – ia menikahi wanita itu setelah peringatan 1000 hari kematian istrinya yang lama – sedang membersihkan piring bekas makan malam. Kayu Jati dan ayahnya sibuk bercerita mengapa laki-laki harus dikhitan. Saat itu dua orang berbadan besar mendobrak masuk ke rumah mereka yang kecil. Kayu Jati melihat mereka sebagai dua Semar yang sedang mabuk sehingga berwajah jahat. Tanpa bicara, dua Semar itu langsung menyeret ayah Kayu Jati keluar rumah dan menghilang dari kegelapan. Kayu Jati, yang belum bisa berjalan, dan wanita yang menemaninya hanya bisa menangis di atas ranjang tanpa tahu apa yang terjadi. Hal yang bisa diingatnya dari kejadian tersebut hanyalah ekspresi ayahnya yang ketakutan dan teriakan ayahnya yang tidak berhenti, “Bukan saya. Tolong lepaskan. Bukan saya. Ini semua tidak adil.”

Tepat pada hari itu, Kayu Jati belajar bahwa bukan kebaikan yang menguasai keadilan melainkan kejahatan. Pada hari ayahnya digelandang, embun-embun kebaikan mulai menguap dari dalam dirinya.

Ah, sebaiknya tak usah kuceritakan masa-masa abad kegelapan yang dialami Yohanes Kayu Jati semenjak ia kehilangan sosok ayahnya. Abad itu terlalu gelap bagi kita, bahkan tak satu lentera pun kupikir sanggup memberikan pencerahan mengenai apa yang terjadi dalam diri Kayu Jati.

Tapi tunggu, aku ingat satu cerita yang sepertinya menjadi titik dimana aku mulai kehilangan diri Kayu Jati. Sepertinya saat itu ia sudah berada di kelas 2 SMA. Aku juga tak tahu bagaimana kegelapan masih bisa bekerja sama dengan kepintaran dalam dirinya sehingga ia bisa melanjutkan pendidikan dengan lancar.

Saat itu ada liga sepak bola antar kelas di sekolahnya. Kayu Jati dan teman-teman sekelasnya yang berada di posisi ke-6 akan bertanding melawan anak kelas 1 yang menjadi pemuncak klasemen. Pertengahan Maret, matahari sedang berada pada titik terdekat dengan Bumi. Suasana di lapangan begitu panas, baik karena sinar matahari yang menyengat maupun karena ketegangan yang tercipta di antara para pemain. Pertandingan telah berjalan satu babak namun belum ada satu gol pun yang tercipta. Pertandingan tersebut malah lebih banyak diwarnai oleh pelanggaran-pelanggaran yang sengaja maupun tidak sengaja dilakukan oleh para pemain.

Kayu Jati baru muncul di lapangan menjelang babak pertama selesai. “Tadi ada urusan sama guru,” ujarnya kepada teman-temannya.

Kayu Jati mengamati pertandingan dengan mata nyalangnya. Ia mendengar bisikan-bisikan di antara orang-orang yang menonton.

“Wasitnya nggak adil tuh!”

“Iya, kelihatan banget wasitnya mihak yang kelas 1.”

“Jelaslah, ‘kan wasitnya juga anak kelas 1.”

Pembicaraan mengenai ketidakadilan wasit tersebut mengingatkan Kayu Jati akan kenangan pahit tentang ayahnya. Kata-kata ayahnya saat digelandang dua Semar terdengar lagi sayup-sayup di telinganya. “Bukan saya. Tolong lepaskan. Bukan saya. Ini semua tidak adil.” Tepat pada titik itu, kegelapan meliputi kedua matanya. Ia menjadi buta dan hanya mampu mengenali kegelapan dalam dirinya.

Saat pertandingan babak kedua, Kayu Jati memasuki lapangan tanpa banyak bicara. Keringatnya bercucuran di sekitar wajahnya dan mengganggu pandangannya. Tapi hal itu tidak mengubah fokusnya. Ia melihat dengan serius ke arah wasit yang sedang membawa bola ke tengah lapangan.

“Wasit itu terlihat begitu angkuh,” pikirnya. “Baru kelas 1 saja sudah berani mengatur-atur kami yang kelas 2. Lihat saja apa yang bisa aku lakukan padanya.”

Memang jelas sekali terlihat bahwa wasit yang memimpin pertandingan saat itu sangat sombong. Tadi malam, ia ditemui oleh beberapa anak kelas 1 yang memintanya agar memihak mereka dalam pertandingan esok hari. Mereka bahkan menyiapkan sejumlah uang yang akan menjadi milik si wasit bila mereka berhasil menang. Mengetahui posisinya yang begitu penting hari itu, dalam pertandingan itu, si wasit tidak bisa menahan keinginannya untuk dihormati.

Tepat ketika peluit dibunyikan, tanda babak kedua dimulai, Kayu Jati langsung berlari. Ia berlari begitu kencang, namun tidak ke arah bola bergulir, melainkan ke arah wasit yang sedang berdiri bebas. Sambil berlari Kayu Jati menyiapkan ancang-ancang untuk melepaskan sejumlah pukulan ke arah badan si wasit.

Saat Kayu Jati berhenti berlari dan mencoba mengambil nafas, ia melihat hampir seluruh penonton berlarian ke arahnya. Si wasit sudah terkapar di tanah. Dua pukulan pada wajahnya telah mematahkan hidung dan rahangnya. Satu pukulan di ulu hati menekan paru-parunya yang menyebabkan ia tak bisa bernafas. Kayu Jati tahu, hari itu ia telah membunuh manusia dan seluruh kebaikan di dalamnya.

***

Biarkan aku mengambil nafas sejenak. Bercerita tentang abad gelap milik seseorang bukanlah hal yang menyenangkan.

Apa arti sebuah nama? Rasa-rasanya saat ini Shakespeare sedang membisikkan kalimat itu di telingaku. Yohanes Kayu Jati merupakan nama yang indah. Di dalamnya ada unsur kebaikan dan kekuatan yang saling menopang satu sama lain. Dulu Kayu Jati sudah pernah berjanji untuk selalu menjadi anak yang baik. Tapi apa daya, kehidupan merenggutnya dan membawanya pada tempat gelap yang tak menerima terang. Abad kegelapan tidak akan pernah berakhir dalam dirinya.

Harapan yang disematkan oleh kedua orang tua Kayu Jati mungkin terlalu berat baginya. Seharusnya mereka namai saja ia Senang. Aku yakin semua akan merasa senang, apalagi Joko Lelono.

***

Inilah kisah hidup Kayu Jati yang hilang, yang berhasil kuhimpun dari salah seorang teman baikku.

Setelah pembunuhan di lapangan sepak bola sore itu, Kayu Jati melarikan dirinya jauh ke Bekasi, tempat ia mati nanti.Ia mengganti nama baptisnya dari Yohanes menjadi Lukas, salah seorang kudus yang lain.

Lukas adalah seorang pengarang Injil, cerita tentang kehidupan Yesus. Tapi bukan itu alasan Kayu Jati memilih nama itu. Ia memilih Lukas semata-mata karena dalam Lukas terkandung kata luka, sesuatu yang menggambarkan dirinya secara penuh.

Dalam pelariannya, ia berkenalan dengan seorang mantan narapidana yang ternyata mengenal ayahnya selama di penjara.

“Bapakmu namanya Andreas, ‘kan?”

“Entah, aku lupa namanya. Seingatku pun ia tak pernah memberitahuku tentang namanya. Tapi itu tak masalah. Ceritakan mengapa ayahku bisa dipenjara.”

Bekas napi itu berkata bahwa ayah Kayu Jati dulu kesulitan uang. Kebetulan, seorang calon jenderal di Jakarta membutuhkan seseorang yang mau dibayar tinggi demi melakukan sebuah pekerjaan kotor, membunuh saingannya di militer. Ayah Kayu Jati yang baik hati sebenarnya tidak menginginkan pekerjaan itu. Tapi ia butuh uangnya.

Ia kemudian dilatih menjadi seorang pembunuh kelas atas. Setelah berhasil menunaikan tugasnya, ia ditangkap dan kemudian dibui. “Yah, itu semua cuma akal-akalan si calon jenderal itu, biar dia dapat pangkat,” imbuh Anto – nama samaran –, si bekas napi.

Kayu Jati kemudian menelusuri jejak si calon jenderal tersebut, – ia tidak tahu apakah orang yang dimaksud Anto ini sudah jenderal atau masih calon – dan menemukannya sedang makan soto di depan Lapas Buluk Kapal. Tanpa basa basi Kayu Jati langsung menusuk punggung si jenderal dan menggorok lehernya di depan seluruh penikmat soto. Tak usah menunggu lama, seluruh anggota militer yang sedang berkunjung ke Lapas Buluk Kapal segera keluar dan langsung menangkapnya serta menahannya di Buluk Kapal, tempat yang seakan-akan telah menunggu Kayu Jati masuk ke dalamnya.

Tiga hari dibui, Kayu Jati mendengar kabar bahwa baru saja ada seorang narapidana yang mati. Ia diduga stres memikirkan masa penahanannya yang tak jelas dan memilih untuk bunuh diri. Ketika jenazah napi yang yang bunuh diri itu lewat di depan kamar selnya, Kayu Jati terkesiap. Ia sangat mengenali wajah itu. Itu adalah wajah manis yang menaruh harapan kebaikan pada namanya dulu. Wajah itu adalah milik bapak Andreas – nama yang dikenalkan Anto, si bekas napi –, ayahnya.

Setelah itu kau tahu ceritanya. Kayu Jati kemudian memilih mati karena menurutnya apa yang dimilikinya sudah direnggut daripadanya. Ibunya dulu, kebaikan dalam hatinya, namanya yang indah, sekarang ayahnya. Demikianlah cerita ini berakhir.

Oh iya, aku lupa mengenalkan temanku yang menceritakan bagian akhir ini. Ia adalah Lukas, si orang kudus, orang yang namanya digunakan oleh Kayu Jati untuk mengiringi kematiannya. Sedangkan aku sendiri, Yohanes, murid kesayangan Yesus, orang yang namanya dipilih oleh orang tua Kayu Jati sebagai pelindungnya.

Yogyakarta, 30 Oktober – 4 November 2014

Hugo Hardianto Wijaya

* Baptis merupakan salah satu ritus dalam gereja Katolik yang menjadi penanda atau inisiasi bahwa seseorang diterima dalam persekutuan gereja Katolik. Umat Katolik biasa menyebut ritus ini sebagai sakramen baptis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun