Mohon tunggu...
Ety Supriyatin
Ety Supriyatin Mohon Tunggu... Lainnya - Pembaca

Menulis apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. â– JUST BE MYSELFâ– 

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pernikahan Ibu dan Anak Beda Zaman

9 Februari 2023   14:43 Diperbarui: 9 Februari 2023   14:47 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Topik pilihannya kok jadi mengingatkan masa muda dulu?" begitu komen saya dalam hati ketika baca topik pilihan di kompasiana. Walaupun sudah sedikit terlewat karena sudah ada topik pilihan lain setelah itu, tapi hati saya tergerak untuk menulis,  meninggalkan kenangan di kompasiana.

Dulu, ketika pernikahan saya awal tahun 1992 resepsi tidak begitu meriah karena keterbatasan dana. Saat itu memang kondisi perekonomian orang tua sedang mengalami kesulitan. Untuk urusan ini-itu terkait resepsi pernikahan orang tua hanya mempersiapkan konsumsi untuk menjamu tamu undangan. Beruntung saya memiliki teman-teman yang baik hati yang bisa dimintai bantuan.

Untuk membagikan undangan, saya menyuruh teman, tapi tidak mau diberi ongkos buat transport. Undangan pun saya buat sangat sederhana, yaitu dengan foto kopi ijazah bagian pinggir untuk variasi kertas undangan yang saya tulis dengan tangan menggunakan bolpoin. Tidak seperti sekarang undangan sangat menarik dan  variatif dengan harga yang tinggi.

Baca juga: Cerita Dua Ibu

Dekorasi pun teman saya yang mengerjakan dengan bahan kain seadanya. Tulisan-tulisan dibuat dengan kertas HVS yang digunting-gunting berbentuk huruf-huruf. Penata rias pengantin juga sumbangan dari saudara yang kebetulan menjadi penata rias (zaman dulu disebut dukun manten). Soundsystem juga sumbangan dari teman. Kalau mengingat semua itu rasanya sedih sekali.

Teman-teman yang saya undang semua hadir. Tidak ada souvenir yang saya bagikan, hanya oleh-oleh jajan seadanya. Zaman dulu kebanyakan kado dari teman berupa barang pecah atau gerabah seperti gelas, mangkok, dan alat dapur lainnya. Sampai sekarang setelah tiga puluh tahun lebih masih banyak yang tersimpan rapi sebagai kenang-kenangan. Itu semua kado dari teman-teman perempuan. Sedangkan sumbangan dari teman laki-laki kebanyakan berupa uang yang waktu itu rerata dua ribu rupiah. Kecuali teman yang akrab ada yang lima ribu rupiah.

Saya ingat sekali ada kado yang nyeleneh dari  mantan pacar berupa alat kontrasepsi laki-laki dan obat kuat. Ada-ada saja ya, entah karena untuk menunjukkan protes lantaran saya menikah duluan atau hanya sebatas iseng-iseng saja, saya nggak tau. Secara keseluruhan kado dari teman-teman sangat berharga dan bisa ditiru pada zaman sekarang memberikan kado yang bermanfaat berupa peralatan rumah tangga. Kalau saja dulu semua teman hanya memberikan amplop berisi uang maka sekarang tidak ada barang-barang yang menjadi kenang-kenangan.

Adik sepupu saya saat  menikah juga dapat hadiah dari teman-temannya berupa perabot rumah tangga sehingga menghemat tidak harus membelinya. Pesta pernikahannya cukup meriah karena sudah diniati ingin melalui momen yang hanya terjadi sekali seumur hidup.

Berbeda dengan ketika saya mantu anak pertama saya, rerata berupa sumbangan uang. Dan memang anak saya lebih suka disumbang uang supaya bisa dipakai untuk kebutuhan.

Pernikahan anak saya menelan biaya yang cukup besar. Total biaya dari rias pengantin sampai konsumsi sekitar  Rp 100.000.000. Dibanding dengan orang lain yang lebih mampu jumlah itu masih tergolong kecil.

Setelah selesai acara resepsi ternyata masih harus memikirkan untuk kunjungan balik yang dalam adat Jawa disebut kirab. Karena anak mantu saya berasal dari kabupaten Blora maka biaya untuk kunjungan balik cukup besar. Dari pihak pengantin perempuan yaitu keluarga dan teman-teman suami saya berjumlah tiga mobil. Bersyukur ada dua mobil sumbangan dari teman suami sehingga lebih ngirit. Saya hanya menanggung makan di perjalanan. Mengingat mau bertamu yang jaraknya jauh maka oleh-oleh yang dibawa pun dibuat sepantas mungkin. Otomatis pendanaan pun cukup besar. Semua itu semata-mata demi anak. Orang tua berkewajiban membiayai keseluruhan untuk pernikahan anak karena kebetulan waktu itu anak saya baru bekerja setahun tapi tidak punya tabungan untuk acara pernikahannya sendiri.

Kesimpulan dari cerita saya, jika boleh saya sarankan kepada anak-anak muda yang mau menikah ataupun orang tua yang akan ngunduh mantu sebaiknya dibuat lebih irit meskipun pada zaman sekarang banyak yang berusaha menyelenggarakan acara resepsi pernikahan semewah mungkin dengan makan biaya ratusan juta. Masih banyak kebutuhan yang lebih penting setelah pernikahan yaitu membeli tanah atau rumah berikut perabot rumah tangga bagi yang belum memiliki sebelum pernikahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun