Mohon tunggu...
indra irawan
indra irawan Mohon Tunggu... -

Lahir di Pangkalan Lampam pada tanggal 01 Agustus 1986, lulusan Sekolah Menengah Atas tahun 2004...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita Senja di Perapian

13 Januari 2014   11:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:53 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tertegun sambil menerawang ke langit-langit rumah sambil bersandar pada dinding kayu rumah kami, rumah yang turut menjadi saksi sejarah perkembangan kehidupanku. Rumah yang sejak aku mulai bisa mengingat memori dalam otakku hingga sekarang aku rasakan belum begitu banyak perubahan. Hanya saja sesekali di ganti baik dinding ataupun lantainya, itu pun karena jika di rumah ada saudaraku yang akan menikah, itu artinya keluarga kami akan berkumpul dan tidak mungkin jika kondisi rumah dibiarkan terlihat seperti tak terawat. Namun begitu masih saja kita dapat mendengar suara derit dari lantai ketika berjalan ataupun pintu dan jendela yang telah kelihatan reot.

Tanpa terasa akhirnya bulir bening mengalir di pipiku yang sebelumnya telah aku berusaha keras untuk menahannya agar jangan sampai aku meneteskan air mata, namun seolah mereka terus meronta dan mendesak untuk keluar dan meluncur dari balik kelopak mataku. Aku sedih bukan karena melihat kondisi rumah kami yang kini sudah nampak makin tua dan reot, namun kesedihan yang aku rasakan, yang hingga memaksa aku harus terlihat seperti laki-laki cengeng adalah ketika aku teringat akan kelanjutan dari sekolahku nanti. Kalau untuk urusan rumah itu belum menjadi suatu yang begitu harus tertanam dalam otakku kala itu.

Disaat teman-teman sebayaku sekarang sedang sibuk membicarakan bahwa mereka akan meneruskan kemana, bahkan sampai diantara mereka sudah ada yang membeli seragam dan perlengkapan sekolah baru, padahal mereka sendiripun belum tahu apakan mereka dapat diterima nantinya di sekolah yang baru, yang memang baru seminggu yang lalu mereka melamar dan mendaftarkan diri disana. Sedangkan aku, yang sudah jelas-jelas mendapat surat rekomendasi dari pihak sekolah bahwa aku telah diterima di sekolah tersebut tanpa harus melalui tes seleksi. Setiap kali aku membuka dan membaca surat itu, aku selalu tak dapat membendung air mata yang jatuh begitu saja dari balik kelopak mata ini.

“Aduh Candra sayang sekali, aku saja yang nilainya jauh di bawah kamu. Dengan penuh semangat dan percaya diri akan bisa melanjutkan ke sekolah yang kita tuju” Ucap salah seorang temanku manakala ia mendengar jawaban yang keluar dari bibirku terlihat tidak begitu semangat untuk membahas tentang rencana melanjutkan sekolah.

Jelas dia terlihat begitu bersemangat, dia berasal dari keluarga yang berkecukupan. Untuk masalah biaya bukanlah hal yang berat bagi keluarga mereka, tinggal menentukan sekolah mana yang mau menerima, berapapun biaya yang harus dikeluarkan, orang tuanya sudah pasti sanggup untuk membayar.

Ketika mendengar ucapan-ucapan seperti itu, biasanya aku hanya bisa tersenyum sampai akhirnya aku menarik diri dari teman-temanku yang terus saja sibuk membicarakan tentang kelanjutan dari sekolah mereka. Aku hanya bisa kembali terdiam, duduk bersandar di dinding kamar rumahku, menatap langit-langit berharap agar air mata ini tak jatuh, namun ibarat awan mendung, kabut sudah begitu tebal hingga aku tak kuasa menampung luapan air mata yang seolah memang menanti untuk ditumpahkan.

Tinggal dua hari lagi waktu yang diberikan oleh pihak Sekolah Menengah Atas untuk kami mengajukan surat pendaftaran. Semua temanku telah begitu semangat dan mereka tinggal menunggu waktu pengumuman apakah mereka diterima atau tidak. Dan jika tidak diterima juga mereka tidak usah terlalu susah berfikir untuk tidak melanjutkan sekolah, karena masih banyak sekolah yang mau menerima, asalkan sanggup memenuhi persyaratan pendaftarannya.

Sementara aku, sama seperti hari-hari kemarin. Masih terus terdiam, duduk bersandar di dinding kamar menatap langit-langit sambil terus berharap ada yang mau membantu, setidaknya memberi setitik harapan agar aku bisa melanjutkan sekolah. Saudara-saudaraku semua terlihat tak ada yang bereaksi sidikitpun, apalagi Ibu. Aku faham betul bagaimana perasaan Ibu kala itu, namun aku tahu Ibu tak bisa berbuat banyak. Sejak kepergian Bapak untuk selama-lamanya meninggalkan kami Ibu adalah satu-satunya tulang punggung dalam keluargaku.

Betapa masih segar dalam ingatanku, ketika dulu manakala ada sesuatu keinginanku yang tak mampu dikabulkan Ibu, aku tinggal merengek manja kepada Bapak dan Bapak pasti berusaha untuk mengabulkannya bahkan aku sendiri pun tak tahu bagaimana bisa Bapak memberikan sesuatu yang aku inginkan. Tapi kini semua berubah, aku sendiri masih duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama waktu itu. Hari sabtu sore dan aku baru pulang dari sekolah ketika aku melihat suasana rumah telah ramai, hampir sesak dipenuhi oleh tetangga disekitar rumahku, dan keluarga ku pun semua telah berkumpul. Suasan masih sunyi dan nampak betul aku menangkap wajah sendu dari setiap raut muka yang aku tatap. Ketika aku melangkah masuk, aku melihat Bapak telah terbaring lemah dikelilingi Ibu dan saudara-saudarku yang lain. Segera aku turut bergabung bersama mereka, kucium kedua pipi Bapak dan kucium tangannya sebagai ungkapan permintaan maaf dan rasa ikhlas.

Kumandang adzan magrib berakhir berbarengan dengan Bapak menghembuskan nafas terakhirnya, suara tangis dari kami sekeluara pun memecah kesunyian senja hari itu. Suara isakan yang tak mampu kami tahan, bagaimana tidak kami harus kehilangan sesosok Ayah yang selalu menjadi panutan. Ayah yang bukan saja berperan sebagai kepala keluarga, melainkan adalah segala-galanya bagi kami, meski memang sudah sejak beberapa tahun belakangan ini Bapak sudah tidak bisa lagi untuk bekerja terlalu berat akibat penyakit yang dideritanya.Yah, hari itu suka atau tidak suka, siap atau tidak siap aku harus menerima kenyataan bahwa Bapak harus pergi meningkalkan kami sekeluarga, meninggalkan Ibu, saudara-saudaraKu dan aku sendiri tentunya. Pergi untuk selama-lamanya dan tak mungkin kembali lagi.

Sejak saat itulah Ibu adalah satu-satunya tempat aku meminta segala keinginanku, seperti saat ini, kepada siapa lagi aku meminta kalau bukan kepada Ibu. Hanya saja kali ini mungkin aku sudah bisa memahami bagaimana kondisi Ibu, oleh karena itu aku tak mampu untuk memaksa.

Tiba-tiba aku merasakan ada yang meraba pundakku, dengan tak begitu semangat dan mata yang terlihat sembab karena terus menangis. Perlahan aku menoleh kearah usapan tangan tersebut. Ternyata Ibu, dengan wajah senjanya yang sudah menampakkan ketuaan dan nampak jelas garis-garis keriput di wajahnya. Ia memaksakan bibirnya tersenyum, berusaha untuk tidak menampakkan kerapuhannya di depan mataku.

“Bersihkanlah wajahmu, setelah itu ikut Ibu” Ucap Ibu sambil terus menatap tajam ke bola mataku yang masih terlihat sembab.

Masih tak bersemangat aku menuruti kata-kata Ibu, sampai aku tak mau menebak kemana Ibu akan mengajakku malam itu, bahkan aku tak mau memikirkannya kemana Ibu akan mengajakku ketika kami keluar, melangkah meninggalkan rumah. Bahkan ketika kami menaiki tangga rumah yang sepertinya ini adalah tujuan Ibu mengajakku keluar malam-malam begini aku masih tak mau berfikir tentang apa yang akan dilakukan Ibu. Terlebih lagi aku tak mau kecewa jika ternyata tebakanku akan meleset dari apa yang aku harapkan.

“Ya sudah, yang jelas Candra harus tetap melanjutkan sekolahnya, masalah biaya mbak jangan terlalu pusing memikirkannya, kalau memang nanti ada kekurangan saya siap membantu” Ujar Pak Mawi. Pak Mawi sendiri adalah guru dari sekolahku yang memang bertugas mengurus mengenai pendaftaran kami.

“Terima kasih Dek Mawi sudah mau membantu, untuk sementara waktu urusan pendaftaran sekolah Candra saya serahkan pada Dek Mawi” Jawab Ibu.

Sayup aku mendengar percakapan kedua orang tua tersebut, meski aku telah berusaha sebisa mungkin memasang telingaku untuk mendengar apa hasil dari keluarnya aku bersama Ibu malam itu, aku tetap tidak dapat menyimpulkan apa keputusannya. Hingga akhirnya aku kembali ke rumah, aku masih tak berani menanyakan kepada Ibu tentang apa yang kami lakukan tadi. Tepatnya apa yang tadi Ibu bicarakan pada Pak Mawi.

Alangkah terkejutnya ketika siang itu tiba-tiba salah seorang temanku datang dengan langsung menunjukkan selembar kertas kepadaku. Meski bingung, aku segera membaca apa isi dari lembaran kertas tersebut. Alangkah senangnya hatiku melihat apa yang dibawakan temanku tersebut. Kertas fotocopi pengumuman hasil seleksi masuk Sekolah Menengah Atas dan yang lebih membanggakan lagi ketika aku membaca namaku bertengger di tingkat ke empat, yah meski bukan menjadi yang teratas setidaknya aku bisa bangga ternyata prestasiku tidak kalah dibanding dengan siswa dari sekolah lain dan jika dibanding dengan teman-teman satu sekolahku ketika SMP, namaku mejadi yang nomor satu. Ternyata ini yang dibicarakan Ibu dan Pak Mawi malam itu. Segera aku luapkan kebahagian itu, tak lagi aku memikirkan teman yang sengaja mengantarkannya untukku. Sampai-sampai aku sendiri lupa apakah aku sempat mengucap kata terima kasih kepadanya.

Segera aku berlari menemui Ibu yang kala itu berada di dapur untuk segera menunjukkan kertas tersebut dan tentunya aku tak lupa mengucapkan kata terima kasih sambil senyum terus mengembang dari bibirku. Namun itu tak berlangsung lama, wajahku kembali muram ketika Ibu menyebut nama kakak tertuaku.

“Berilah tahu kakakmu, agar dia bisa segera membantumu mengurus untuk masuk sekolah” Ucap Ibu.

Namun perkataan itu segera saja membuatku lesu, semangat yang tadinya begitu bergelora kini terasa terkikis begitu saja. Bagaimana tidak, kakak tertuaku. Dialah orang yang pertama kali menentang tentang rencana aku untuk melanjutkan sekolah, mau biaya dari mana katanya..! tapi sekali lagi Ibu menyelamatkanku, kembali menyalakan semangatku yang sempat meredup. Tak tahu usaha apa yang beliau lakukan, Ibu berhasil meyakinkan kakak untuk turut mengurus keperluan sekolahku. Sekali lagi aku berterima kasih kepada Ibu, rasanya Ibu bagai promotor dan sang pahlawan kala itu, tak terhitung berapa kali sudah Ibu menggelorakan semangat diriku yang nyaris pudar.

Berkat usaha Ibu, akhirnya aku mampu menamatkan sekolahku meski masih dengan terseok-seok. Beruntung disetiap keletihan yang mulai melanda kobaran semangat yang terus aku nyalakan, Ibu selalu menjadi pedorong agar semangat mau maju tersebut terus berkobar. Kini, meski aku masih belum bisa mencicipi bagaimana rasanya duduk di bangku perkuliahan, belajar di jenjang yang lebih tinggi. Di tempat yang sering disebut teman-temanku dengan nama Universitas. Aku tetap merasa banggga kepada Ibu. Karena bagiku Ibu adalah pahlawan yang sangat berperan dalam pendidikan ku.

Disini, di dinding kamar rumahku tak lagi aku meneteskan air mata sambil memandang langit-langit, kini aku sudah mampu tersenyum walau hati masih tersayat, karena aku masih belum mampu membahagiakan Ibu, membalas setidaknya sebagian dari jasa-jasa Ibu dalam berjuang membelaku yang dengan segenap jiwa rela mempertaruhkan apa pun demi kebahagianku dan juga saudaraku yang lain. Di usianya yang kini telah senja, Ibu masih saja dengan segala aktivitasnya seperti dulu. Terduduk di perapian menyiapkan sarapan, makan siang dan makan malam untuk kami.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun