Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merengek dan Mengungkit Sebuah Janji

9 Maret 2016   05:48 Diperbarui: 9 Maret 2016   07:54 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengingkari janji memang perbuatan tercela dan menyakitkan. Sesederhana apapun bentuk janjinya tetap saja menyakitkan kalau tidak ditepati. Karena apa? Karena janji itu sebenarnya sebuah sikap yang menyiratkan akan adanya sebuah komitmen. Kalau sudah ada komitmen orang percaya. Kalau orang sudah percaya, dia akan menaruhkan segalanya untuk kepercayaan itu. Maka begitu diingkari janjinya, tentu saja amat mengecewakan dan menyakitkan.

Saya merasa yakin bahwa setiap orang pernah janji dan mengingkarinya. Tidak saja janji pada orang lain, tapi juga janji pada diri sendiri. Entah apapun janjinya. Baik janji secara iseng atau serius. Yang namanya janji tetap saja janji.

Dan saya yakin pula bahwa setiap orang pernah janji dan mengingkarinya lebih dari satu kali untuk masalah beda, bahkan masalah sama. Bagi orang yang berkarakter, mereka bisa mengerem untuk bikin janji. Karena mereka tahu bahwa bikin janji tidak selamanya bisa dipenuhi. Maka sebelum janji, mereka akan berpikir keras, realistis dan harus merasa yakin bahwa janjinya bakal bisa dipenuhinya.

Orang yang berkarakter dan pernah tersakiti karena diingkari janji, akan belajar untuk menilai sebuah janji. Apakah janji itu realistis untuk dipercaya atau sekedar janji kosong dan isapan jempol belaka. Ia bisa menilai sebuah janji karena pengalaman dan sikap realistiknya.

Janji yang tertulis dan bersegel materai saja bisa diingkari, apalagi yang lisan. Kenapa demikian? Karena janji itu tidak beku di ruang hampa. Tidak berdiri sendiri dan bebas nilai. Banyak faktor bersangkut-paut dengan sebuah janji. Banyak faktor yang berpengaruh apakah sebuah janji bisa ditepati dan dipenuhi apa tidak. Janji pada perseorangan saja kadang meleset untuk ditepati, apalagi janji pada banyak orang. Janji politik adalah janji pada banyak orang. Jika sebagian saja dari janji politik itu terpenuhi, relatif cukup untuk menilai apakah janji itu ditepati apa tidak? Karena dalam politik, semua serba mungkin. Tak ada janji yang sepenuhnya bisa ditepati dalam politik. Bikin janji jadi isu politik apalagi ingkar janji. Tepat janji juga bisa jadi komoditi politik yang lezat. Tidak janji pun bisa menjadi komoditi politik yang laku. Tergantung kedewasaan politik seseorang dalam menilai sebuah janji jika bertautan dengan politik.

Sebuah kontrak kerja adalah janji yang disepakai bersama. Sebuah kontrak kerjasama bisnis adalah sebuah janji bersama. Akad nikah juga sebuah ikrar janji. Terpenuhi apa tidaknya sebuah janji tergantung keadaan dan masing-masing subyek. Janji setia tapi yang diberi janji tidak setia gimana? Janji membahagiakan, tapi yang diberi janji tak pernah merasa bahagia gimana? Janji sehidup semati bukan berarti kalau yang satu mati lalu ikutan mati. Janji yang genuine (asli dan tulus) dari masing-masing pelaku, sedikit banyak nantinya bakal terwujud jika ada kesadaran bersama. Beda jika janji itu memang ditulis untuk tujuan penipuan. Meski kelihatan asli dan genuine, tapi tetap saja isinya menipu. Tergantung kekritisan kita untuk menilai sebuah janji dan tidak menelannya mentah-mentah hanya karena penilaian berdasar alasan keyakinan, kekerabatan, kedekatan dan lain-lain faktor yang membuat kita kehilangan sikap realistis dan kritis.

Bagaimana ketika kita telah bersikap kritis, hati-hati dan realistik, tapi tetap juga kecewa karena diingkari janji? Haruskah kita menyalahkan diri sendiri bahwa kita tak cukup kritis dan realistik? Apakah kita akan terus mengundat-undat janji itu? Mengungkit-ungkit kesalahan, pribadi orang atau keadaaan? Atau kita mencoba bersikap realistis dan move on? Dalam hidup, realitas janji tak pernah sepenuhnya akan terpenuhi menurut yang kita inginkan secara tepat. Pasti ada kurangnya di sana sini.

Sumpah Palapa bisa juga dikategorikan sebagai janji yang diucapkan oleh Gadjah Mada. Deklarasi Sumpah Pemuda bisa juga dikategorikan sebuah janji oleh para pemuda. Proklamasi juga juga dikategorikan sebuah janji. Janji membuat kita berpikir dengan kesadaran akan batas-batasnya.

Apakah Sumpah Palapa telah terpenuhi? Apakah Sumpah Pemuda dan Proklamasi telah terpenuhi? Tentu saja belum terpenuhi sepenuhnya dengan baik. Tapi kita tetap percaya pada janji itu. Kita sadar tentang lingkup sebuah janji. Kita tetap percaya bahwa suatu saat janji-janji itu bakal terwujud dan terpenuhi. Padahal kalau dipikir, janji itu sepertinya tidak realistis. Tapi kita butuh hal-hal yang bisa menyatukan. Kita butuh sesuatu yang pasti dan jadi impian bersama di masa depan. Meski lewat janji-janji yang tidak realistis. Janji itu sudah bukan janji lagi, tapi sudah menjadi komitmen kita semua tanpa tanya lagi. Kita sadar bahwa janji itu tak bisa terpenuhi jika kita tak berusaha bersama-sama mewujudkannya. Kita berproses bersama dan mengkondisikan agar mimpi bersama itu terjelma. Sampai kapan? Sampai Indonesia terhapus dari peta muka bumi.

Kita sadar bahwa janji itu tak bakal terpenuhi jika kita bisanya cuma merengek-rengek. Impian masa depan tak bakal terwujud jika kita tak bertindak, tak ikut berikhtiar mewujudkannya bersama. Janji itu dideklarasikan demi kebaikan bangsa kita. Janji itu milik kita semua sebagai warga, bangsa Indonesia. Kita tak bisa mengelak bahwa janji itu bukan kita yang mengucapkan dan menyalahkan orang yang telah bikin janji atau mengungkit-ungkit pribadinya.

Kita tak lagi seperti anak-anak yang menagih janji awal tahun lalu pada orang tua karena tak dibelikan sepeda saat naik kelas. Janji yang diucapkan awal tahun berbeda situasinya dengan saat kenaikan kelas akhir tahun. Kita sadar bahwa kebutuhan orang tua tak hanya membeli sepeda hadiah naik kelas. Kita cukup dewasa untuk menilai keadaan, situasi dan kondisi orangtua kita. Perjalanan masih jauh di depan. Tidak menyalahkan orangtua kita dan menuduhnya sebagai penipu dan pembohong, Mereka kerja keras untuk mencukupi kehidupan keluarga dan beaya sekolah kita. Itulah janji tak terucap mereka. Kita move on bila tak mau rugi semuanya. Tetap sekolah dan belajar rajin agar bisa naik kelas ada janji atau tidak. Janji itu diucapkan mungkin saja karena kita malas belajar. Masak mau ngambek terus tidak mau sekolah? Terus mau apa jadi apa kita nantinya? Kesadaran akan lingkup sebuah janji betapa kita perlukan.*** (HBS)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun