Mohon tunggu...
Hanifa Paramitha Siswanti
Hanifa Paramitha Siswanti Mohon Tunggu... Penulis - STORYTELLER

Penikmat kopi pekat ----- MC, TV Host, VO Talent ----- Instagram: @hpsiswanti ----- Podcast Celoteh Ambu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cempaka

18 Juni 2020   19:56 Diperbarui: 19 Juni 2020   15:58 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi temaram lampu jalan. (sumber gambar: pxhere.com)

Seorang gadis kecil menggigil di tepi jalan. Duduk sendirian di pinggir lalu lalang kendaraan. Orang-orang di sekitar sekadar melewatkannya. Tanpa rasa peduli untuk sekadar melirik sedikitpun. Terkecuali aku.

Sebetulnya rasa ini bukan peduli, melainkan penasaraan. Waktu berjalan lama dan dia masih di posisi yang sama.  Siapakah dia?

Langit tampak lengang tanpa bintang. Sejak sore tadi mendung memang menggelayut tanpa hujan. Rintiknya baru saja turun sekarang. Menimbulkan udara yang terasa dingin menusuk tulang.

Namun aku terselamatkan oleh segelas besar teh tawar hangat di rumah makan Padang ini. Sepiring nasi dengan lauk telur dadar, sayur nangka, dan kepala kakap pun baru saja meluncur sempurna ke dalam perut.

Posisi meja dan kursiku tepat menghadap ke arah jalan. Bermacam kendaraan melewati tempat ini dengan  amat ramai dan bising. Malam yang semakin tinggi membuat sorot lampu kendaraan bagaikan pancaran sinar petromaks.

Posisi rumah makan ini tepat di pinggir jalan raya yang juga menjadi jalur provinsi. Tak heran aspalnya sangat halus dan bagus, sehingga membuat para pengendara bisa sesuka hati menyetir dengan kecepatan penuh.

Aku melangkahkan kaki menuju ke arah pintu keluar sembari meyalakan sebatang rokok. Kuhirup dan hembuskan perlahan ke atas. Asapnya yang menggumpal berlarian meliuk di udara.

Gadis itu masih terlihat di sana. Di tempat yang sama seperti saat aku datang ke rumah makan ini. Di  trotoar yang sama dengan posisi yang sama. Jarakku dengannya sekitar 50 meter saja. Hanya dihalangi deretan motor pelanggan rumah makan yang diparkir di  pinggir jalan.

Aku lihat sudah puluhan orang melewati sang  gadis tanpa menolehnya sedetik pun. Gadis berambut lurus  itu seakan hantu yang tak terlihat oleh manusia. Padahal aku yakin dia manusia nyata. Buktinya kaki sang gadis menapak ke jalan dan wujudnya berbayang setiap terkena sorot lampu sepeda motor yang akan parkir.

Terhitung sejak kedatanganku setengah jam lalu, berarti gadis itu pun sudah duduk di sana lebih dari 30 menit. Aku jadi penasaran. Kalau memang dia pengemis, mengapa tak ada  wadah plastik penampung di hadapannya? Atau mengapa  tangannya tidak menengadah kepada setiap orang yang lewat?

Jika dia bukan pengemis, lantas siapakah dia? Anak yang kesasar? Mengapa tidak menghampiri pos polisi yang berada tepat di belakangnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun