"Ya lucu aja pertanyaan kamu. Hahaha," Belle kembali tertawa.
"Huu..." Jepita manyun.
"Oke..oke. Jadi gini lho, Jepita. Nasib sandal itu dimana-mana ya diinjak. Nggak peduli berapapun harganya. Mau mahal kek, murah kek, tetap aja diinjak. Mau jalan ke mal, ke kampung, kemanapun ya diinjak. Mana ada yang ditenteng. Ya, kan?" jawab Belle.
"Iya juga sih. Tapi tetap beda lah rasanya. Kamu yang berbahan kulit super mahal kan diinjak anak sultan. Lah aku yang cuma sendal jepit kelas rakyat jelata gini cuma diinjak anak pedagang pasar. Udah kenyang deh aku dengan jalanan pasar yang becek, bau, dan berdebu," Jepita berhenti sejenak untuk mengambil nafas.
Belle menunggu kelanjutnya Jepita dengan sabar.
"Mana badanku banyak tambalan begini. Saking miskinnya pemilikku, ia sampai belasan kali mengelem ulang capitan ini karena nggak punya uang untuk beli sandal baru. Aku jadi makin jelek," sambung Jepita.
"Berlebihan deh, Jepita. Seenggaknya kan kamu disayang dan dipertahankan. Terus kamu pikir enak jadi sandal anak sultan?" tanya Belle.
"Ya enak dong. Lantai yang kamu lewati tentu selalu bersih, wangi, kinclong. Aku yakin kamu pasti dirawat dengan apik. Terus pasti  nggak pernah datang ke tempat berbau dan ramai orang lalu-lalang sepertiku," ucap Jepita yakin.
"Oh ya? Memang kamu tahu darimana?" Belle menegakkan diri.
"Dari...dari...mana  ya? Nggak tahu sih. Aku hanya menebak. Tapi betul, kan?" Jepita mengerlingkan mata.
"Duh kamu ini. Penyakit manusia rupanya sudah menular ke kaum sandal. Hehehe," Belle terkekeh lagi.