Pernahkah suatu ketika kita berkontemplasi baik waktu seorang diri, sedang beribadah, atau tidak sengaja di tengah keramaian? Setiap kali saya menjenguk kerabat atau teman di rumah sakit, kontemplasi terbaik yang pernah saya renungkan diteguhkan kembali.
Adakah yang bisa mengalahkan kemahabernilaian uang? Adakah yang mampu menyaingi keterkenalan dan kekuasaan jabatan? Adakah yang bisa menyandingi kebahagiaan dari makan enak?
Ada. Saya berhasil menemukan.
Ucapan syukur atas pemberian Yang Maha Kuasa berupa tubuh dan segala perangkatnya. Kelima indera yang masih peka. Akal pikiran yang boleh dijaga sehat. Perasaan yang tidak tumpul melihat sekitar.
Jika hendak diuangkan, tidak ada yang mampu membayarnya. Harta ini diberikan sejak keluar dari kandungan. Tidak ada barang lain yang melekat. Entah, mengapa kita sekarang begitu tertarik, terobsesi, bahkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang lain-lain itu?
Pikiran yang pintar digunakan untuk bersekolah. Mencari ilmu dan bekerja di perusahaan impian. Setelah berkontribusi mengerahkan pemikiran terbaik untuk kemajuan perusahaan, boleh mendapat promosi untuk naik jabatan.
Perasaan mengimbanginya. Ketika sudah di atas angin, perasaan yang seyogianya tepat adalah bersyukur dan memanfaatkan itu untuk sebaik-baiknya kepentingan sesama. Tidak ada rasa sombong dan tetap menghormati semua orang.
Mengapa harus keduanya yang terus diasah?
Ada orang pintar, tetapi menyalahgunakan kepintarannya untuk menipu orang. Ada orang cerdik, tetapi memanfaatkannya untuk melakukan kejahatan.
Ada orang sombong bukan main dan banyak omong, padahal pemikirannya entah ke arah mana. Baik pikiran maupun perasaan, harus seimbang.Â
Kecerdasan yang dimiliki tidak untuk ditunjukkan, tetapi digunakan bagi kebaikan bersama, baik diri maupun sesama. Pemikiran-pemikiran positif yang membangun dan menguatkan boleh dibagikan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!