Beberapa hari ini lelaki itu terlihat murung. Badannya gampang capek. Sebagian pekerjaan kantor belum selesai. Ia sedang disibukkan oleh bos barunya.
"Mas, nanti jemput anak saya ke sekolah ya!" perintah bosnya pagi itu. "Baik, Pak," jawab lelaki itu. "Sebenarnya saya siapa sih? Pembantunya apa bawahannya? Kok bisa-bisanya disuruh jemput anak!" gerutu lelaki itu dalam hati. Kendati tidak sepenuh hati, ia tetap melakukannya.Â
Kita sudah paham, kedudukan bos lebih tinggi daripada bawahan. Instruksi, perintah, bimbingan, semuanya berasal dari bos turun ke bawahan. Sebagai bawahan yang baik, harus sigap melaksanakan.
Dalam hari-hari kerja selama seminggu, entah sudah berapa perintah dikerjakan bawahan. Bawahan memang dibayar untuk itu. Melakukan pekerjaan yang menjadi tugasnya sesuai arahan bos.
Tetapi, pada kenyataan di lapangan, barang sekali dua kali, gampang ditemukan arahan yang tidak semestinya. Tidak seyogianya dilakukan dalam interaksi antara bos dan bawahan di dunia kerja.
Ya, seputar urusan pribadi.Â
Boleh dikatakan pelayanan kepada keluarga bos. Baik itu istri, anak, menantu, mertua, maupun kemenakan. Bagaimanakah sebaiknya bawahan bersikap? Bolehkah bawahan menolak jika seandainya disuruh untuk keperluan pribadi bos? Sebelum menjawabnya, mari kita simak ulasan berikut.
Fasilitas kantor seyogianya digunakan untuk kegiatan kantor
Boleh kita sebut ruangan kantor yang nyaman. Ada fasilitas televisi, pendingin ruangan, sofa yang begitu empuk, mungkin kamar tidur kecil, dan pelayanan petugas kebersihan. Saya kira, ruangan bos adalah yang ternyaman dari seluruh ruangan di kantor.
Selain itu, tersedia pula mobil dan sopirnya untuk antar jemput dari rumah ke kantor dan sebaliknya, dalam rangka memudahkan bos bekerja.Â