Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sebaiknya Kita Tidak Bercanda dengan Makanan

10 Juli 2021   01:08 Diperbarui: 10 Juli 2021   01:50 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bercanda dengan makanan, sumber: inhabitat.com

Seorang anak kecil duduk di atas kursi. Tangannya terlipat hendak berdoa. Di sampingnya, ada seorang ibu sedang mengambil makanan untuknya. Ada nasi dan ikan goreng secukupnya.

"Makan ya, Nak. Disantap sampai habis," seru ibu. "Nanti, kalau makanannya tidak habis, nasinya nangis. Kasihan dia," lanjut ibu itu bicara. Anak itu mendengar dengan saksama. Ia melahap habis segala yang tampak di piringnya.

Apakah Anda waktu kecil pernah "dibohongi" ibu perihal nasi nangis? Jika iya, sama. Saat itu, saya percaya saja. Tidak pernah terpikir ada pertanyaan, bagaimana nasi bisa nangis.

Kalau terdengar tangisan, mungkin ada yang menderita. Kita telah berbuat salah dan wajib minta maaf. Kita sebaiknya tidak melakukan itu.

Alhasil, semasa kecil, dengan ingatan lekat (karena berulang-ulang disampaikan di meja makan), saya tidak menyisakan makanan. Takut kena marah.

Sampai remaja dan besar, ketika saya diajak Mama ke pesta, diperingatkan pula bahwa ambil makanan secukupnya. Jangan terlalu banyak sehingga akhirnya tidak habis. Jika mau lagi, ambil sedikit dulu. Nanti boleh tambah porsi. 

Lama-kelamaan, pesan Mama menjadi kebiasaan dan membentuk karakter saya. Saya paling tidak bisa melihat ada sisa makanan di piring. Semakin ke sini, semakin mengamati keadaan sekitar, rasanya mau nangis.

Makanan itu untuk kehidupan. Setiap orang butuh makan. Membuang makanan berarti tidak menghargai kehidupan.

Sindiran Khaby Lame

Saya mengikuti Khaby Lame di media sosial Instagram. Sangat banyak pengikutnya. Ia adalah komedian luar negeri, yang cara bercandanya tidak berbicara, melainkan cukup bertingkah. Sebagian berisi sindiran.

Sila baca: Belajar Simpel dari Khaby Lame

Ada dua video yang saya sangat setuju dengan pemikirannya. Video itu menyindir perilaku satu dua orang yang menggunakan makanan sebagai bahan konten. Jika dimasak, tidak apa-apa. Ini seperti disia-siakan. Sila disimak sebentar.



Pada video pertama, terlihat seseorang menggenggam pasta di tangan. Ia membawanya masuk ke dalam mobil dan meletakkan di bangku. Pasta itu tersimak tidak diperlakukan seperti sebaiknya makanan.

Dilempar begitu saja ke atas kursi dan diserakkan, lalu diberi sambal. Dijumput sedikit dan dimakan. Sisanya? Kemungkinan besar terbuang. 

Khaby Lame memberi pesan pada judul video itu: "I don't forgive a man who waste food". Artinya, saya tidak mengampuni orang yang membuang-buang makanan.

Video kedua pun sama. Seorang lelaki menuangkan begitu banyak liter susu ke bagasi mobil. Ia mencelupkan jarinya pada limpahan susu dan mengecapnya. 

Sisa susu itu ke mana? Lagian, apa pantas dituang ke bagasi? Sekali lagi Khaby Lame menyindir. Pesannya pun sama. Don't waste food, bro.

Kondisi kelaparan yang nyata

Pada sisi lain, berdasarkan lokadata.id, Global Hunger Index (GHI) -- sebuah lembaga riset kebijakan pangan yang berkantor di Washington DC, Amerika Serikat -- merilis Indeks Kelaparan Global tahun 2020.

GHI mencatat, ada:

690 juta orang (sekitar satu dari setiap 10 orang di dunia) menderita kurang gizi,

144 juta anak menderita stunting (kerdil, tanda kekurangan gizi kronis), dan

47 juta anak menderita wasting (kurus, tanda kekurangan gizi akut). 

Pada 2018, sebanyak 5,3 juta anak meninggal sebelum ulang tahun ke-5 akibat kekurangan gizi. GHI mengukur dan melacak kelaparan di tingkat global, regional, dan nasional, melalui empat indikator. 

Pertama, asupan kalori tak cukup (kurang gizi). Kedua, kurang gizi akut (ditandai anak-anak dengan berat badan kurang dari normal). Ketiga, stunting (anak-anak dengan tinggi badan kurang dari normal). Terakhir, angka kematian anak di bawah umur lima tahun. 

Ada lima kategori dipakai GHI, yaitu tingkat kelaparan kategori rendah, dengan skor kurang dari 9,9; kemudian berturut-turut disusul oleh tingkat moderat (skor 10-19,9); tingkat serius (skor 20-34,9); mengkhawatirkan (skor 35-49,9) dan ranking terbawah: sangat mengkhawatirkan (skor lebih dari 50).

Dalam laporan GHI 2020, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia lolos dari level "serius" dan masuk kategori moderat. Indonesia meraih skor 19,1, menempati urutan ke-70 dari 107 negara.

Skor dan peringkat Indonesia terhitung lebih baik ketimbang Kamboja (peringkat 76, skor 20,6), Myanmar (peringkat 78, skor 20,9), dan India (peringkat 94, skor 27,2).

Namun, indeks dan peringkat Indonesia masih lebih buruk dari Thailand (peringkat 48, skor 10,2), Malaysia (peringkat 59, skor 13,3), Vietnam (peringkat 61, skor 13,6), dan Philipina (peringkat 69, skor 19).

Bolehkah saya simpulkan dari data tersebut, masih ada orang di sekitar kita yang kelaparan dan membutuhkan uluran tangan untuk sekadar makan?

Berempati sebagai orang lapar

Saya selalu gagal paham dengan latar belakang seseorang bercanda dengan makanan. Saya saja yang cukup uang untuk beli makanan tidak sampai hati melihat konten tidak berfaedah itu. Sama sekali tidak berguna, ditinjau dari rasa kemanusiaan.

Ajaran Mama langsung teringat. Mungkin kalau pembuat konten bertemu Mama, saya tidak bisa bayangkan. Bagaimana bisa makanan dibuang-buang? Tidak disajikan sebagaimana layaknya untuk dimakan?

Belum lagi jika sebagai orang kelaparan. Bagaimana perasaan kita? Menyesakkan dada pasti. Tidak habis pikir, mengapa ada orang yang mungkin kaya tetapi pasti tidak bersimpati, terbukti dengan membuat konten candaan makanan.

Akhir kata...

Kedua contoh itu merupakan peristiwa di mancanegara. Tetapi, tidak menutup kemungkinan, orang kita bakal ada. Kita paling cepat bukan, meniru beberapa hal dari luar?

Sekiranya ada yang hendak membuat konten dengan maksud menghibur para penonton, alangkah lebih baik jika candaan akan makanan dan minuman -- yang mana keduanya tidak diperlakukan selayaknya dan tidak dimakan melainkan terbuang sia-sia -- dikeluarkan dari daftar konten.

Pertimbangkanlah simpati dan empati terhadap sesama. Tidak perlu jauh-jauh sampai ke luar negeri. Sekarang, di negara kita, sebagian besar sedang susah. Sekadar cari makan, terengah-engah, gegara Covid-19.

Demi kebaikan bersama, mari para pembuat konten, hindari konten seperti itu dan carilah konten lain yang lebih bermanfaat.

...

Jakarta

9 Juli 2021

Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun