Kita akan terus cecar, meskipun ia telah begitu banyak berbuat baik. Tanpa kompromi dalam menghukumnya atas kesalahan itu. Tidak ada belas kasihan barang sedikit untuk tidak mengingatnya.
Buta melupakan sakit hati
Yang ketiga ini lebih parah. Hati kita telanjur remuk karena perbuatan orang yang begitu menyakitkan. Ada kepahitan mendalam yang terus disimpan dan terlalu sulit dipulihkan.
Kita telanjur benci dan memandang bahwa segala yang dilakukan orang itu satu pun tidak ada yang benar. Semua salah. Hidupnya sangat salah. Dia terlahir pun seolah-seolah sebuah kesalahan.
Tidak ada yang luput
Peribahasa ini berlaku untuk semua orang. Tidak ada yang tidak pernah merasakan. Ketika emosi lebih mendominasi logika, sebijak apa pun otak mengendalikan diri kita, tetap akan kalah.
Kita kelepasan, rajin mengkritik, tanpa pernah "becermin". Terutama, bagi orang-orang yang hidupnya masih terjerembap dalam kubangan masa lalu. Selalu dibawanya, sakit dan segala penghinaan yang pernah dialaminya.
Dengan mengungkapkan kesalahan orang yang pernah menyakitinya, ia begitu puas. Seolah-olah dendam terbalaskan. Ia berhasil menyalahkannya seperti dahulu ia disalahkan.
Akhir kata...
Mari kita lebih banyak merenungi diri. Sudahkah kita dari hari ke hari menjadi pribadi yang lebih baik? Meninggalkan kesalahan-kesalahan dan terus bermanfaat?
Jika kiranya dalam satu dua hal kita hendak menyatakan kesalahan orang, seyogianya dipahami sungguh bahwa itu semata-mata untuk mengubahkannya ke arah yang benar. Berbicara empat mata adalah cara terbaik.