Seorang pemuda terbangun saat pagi hari. Ia menatap jam dinding. Waktu menunjukkan pukul 07.15. Ia segera melompat dari tempat tidur, mengambil handuk, dan lekas mandi.
Ia buru-buru ganti pakaian. Ia turun dari lantai dua. Ia tidak sempat makan bersama saudaranya. Pada sisi lain, para saudara tersenyum di atas meja makan. "Ngapain buru-buru?" seloroh salah satu dari mereka.
Coba lihat arloji Anda. Lihat pula jam di ponsel Anda. Lalu, bandingkan dengan jam dinding di sekitar Anda. Apakah sama, baik detik, menit, maupun jamnya? Punya saya berbeda.
Saya lebih cepat beberapa menit di jam tangan. Saya memang sengaja memajukannya. Mungkin juga sebagian Anda. Dan kita tentu punya maksud. Selain di jam tangan, bisa pula mempercepatnya pada jam dinding atau beker di kamar tidur.
Saya pertama kali mengalami betapa berguna memajukan waktu saat di rumah Opung di Jakarta. Saat itu, saya pertama kali pula tinggal di Jakarta. Karena belum ada wawasan, saya memilih tinggal di rumah saudara.
Jam dinding di rumah Opung lebih cepat lima belas menit. Bayangkan! Seperempat jam. Opung dan anak-anaknya selalu tenang setiap pagi saat berangkat ke kantor. Secara tidak sadar, saya ubah waktu di jam tangan saya sesuai jam itu.
Sebagai pekerja kantoran, lama-kelamaan saya memperoleh banyak manfaat dari kebiasaan ini. Ada rutinitas yang tertolong dapat terbudayakan baik, dengan mengacu pada waktu maju ini. Mulai dari berangkat ke kantor.
Tidak mau terlambat
Dengan membiasakan diri melakukan aktivitas berdasarkan waktu yang dimajukan, ada maksud kita untuk menghindarkan diri dari keterlambatan. Bagi sebagian kantor, terlambat masuk dapat memengaruhi take home pay yang dibayarkan.
Ada potongan besaran uang tertentu yang dialami pegawai, dihitung dari detik, menit, dan jam keterlambatan. Ini sangat tidak diinginkan dan dapat diminimalisir.