Seorang lelaki melihat ponselnya. Ada pesan tidak biasa, masuk. Ia diminta bantuan untuk mengirimkan username ke orang yang baru saja meneleponnya. Kata orang itu, username itu salah kirim.
Tanpa curiga, ia melakukannya. Seorang teman mendekatinya. Teman itu bertanya, apa yang ia kerjakan? Teman itu menyadari, ia sedang dikerjain seseorang.
Saya pernah mengalami akun ojek daring hampir diretas. Saldo depositnya saat itu masih seratus ribu. Saya jujur orangnya polos dalam hal diminta bantuan. Gampang tergerak.
"Mas, jangan kirim lagi!" seru teman itu. Ia bertanya, "Memang kenapa, Bro?" Teman itu tersenyum. Teman itu pernah mengalami kejadian sama. "Akun Mas sedang diretas seseorang," jawabnya.
"Nanti kalau ada yang telepon, biar saya yang jawab," lanjutnya. Beberapa menit berlangsung, orang itu menelepon lagi. Langsunglah teman itu bertanya, bertanya, dan bertanya, mendebatnya, sampai orang itu kehabisan kata-kata.
Saya kagum dengan kemampuan debat teman saya itu. Pertanyaan demi pertanyaan diajukannya -- seolah-olah tidak pernah mengalami -- agar orang di sana -- peretas -- bosan dan lelah.Â
Saat itu pengeras suara dinyalakan. Saya bisa mendengar orang di ujung telepon tetap bertahan, bilang segala alasan agar password yang seolah-olah salah dikirimnya, diberitahukan lagi padanya. Karena kalah berdebat, orang itu memutus telepon. Saldo deposit saya tidak jadi hilang.
Debat sebagai kebiasaan
Bagi sebagian kita, ada yang suka sekali berdebat. Entah antarorang, dengan keluarga, bersama kekasih, sampai kepada debat resmi di televisi yang ditonton banyak pemirsa.
Ketika bekerja dan perjalanan dinas ke daerah, saya juga kerap didebat tentang suatu hal, yang dirasa tidak benar oleh klien. Berjibun pertanyaan muncul dan saya senang saat berhasil menjawabnya.
Selain itu, akhir-akhir ini saya sempat menonton debat tentang agama. Selalu hangat untuk didebatkan. Meskipun saya sadar benar, adakalanya perbedaan tentang agama tidak untuk didebatkan, melainkan dengan lapang dada diterima.
Lantas, mengapa sebagian kita suka sekali berdebat dengan orang?
Mempertanyakan keaslian data
Sebagian kita mungkin terpukau dengan kehebatan kualitas pendapat seseorang. Lalu, hendak bertanya apa dasarnya sehingga tersimpulkan pendapat tersebut.
Seharusnya, sebelum pendapat diajukan, bagian pertama sebagai landasan, orang akan menyajikan data dan fakta dari berbagai sumber. Pendebat pasti menanyakan dari mana data diperoleh.
Apakah dari portal berita tepercaya? Apakah sebuah penelitian terdahulu dari orang atau lembaga? Dengan berhasil membuktikan bahwa data yang digunakan abal-abal, secara langsung ada kepuasan pada sisi pendebat. Pendapat yang diajukan gugur dengan sendirinya.
Menguji logika orang
Pendebat ingin menguji bagaimana orang menyusun logika dalam menyimpulkan pendapat. Berbagai pertanyaan diajukan seputar masalah, untuk menilai kerangka sistematis berpikirnya.
Apakah kesimpulan secara komprehensif telah mewakili hasil analisis? Atau, sekadar pendapat subjektif, bukan objektif? Kepandaian seseorang terlihat dari caranya menyusun logika.
Mempertahankan pendapat
Dari sisi yang didebat, ada kebanggaan tersendiri jika pendapatnya sukses dipertahankan selepas melewati ujian pertanyaan. Ia dapat menjawab semua sanggahan dan keraguan akan cara berpikirnya.
Jawaban yang masuk akal disajikan. Analisis berdasar data diutamakan. Ia juga berupaya menyusun logika-logika lain untuk mendukung dan memperkokoh pendapatnya.
Menelanjangi sesat pikir
Berhasil mematahkan logika orang dan menyatakan di depan publik bahwa opininya hanya karangan sekaligus subjektif, merupakan kebahagiaan bagi sang pendebat.
Kemenangan hakiki dari pertarungan logika. Yang salah memang harus dinyatakan salah. Yang benar wajib diakui benar. Orang yang berpendapat benar seyogianya diapresiasi.
Menjaga wibawa
Berdebat juga merupakan sarana untuk menunjukkan kepandaian. Pendapat yang memukau orang-orang akan membuat sosok dinilai membawa pengaruh dan punya daya tarik.
Membentuk wibawa. Wibawa itu berhasil tertampilkan baik bahkan semakin sempurna, jika dalam debat, sukses mematahkan sanggahan dan mempertahankan pendapat.
Mempertaruhkan kompetensi
Tidak jarang orang yang berdebat membawa nama baik tempat kerjanya. Membawa jabatan yang sedang dijabatnya. Ia bukan orang biasa. Boleh jadi orang penting.
Dengan menang debat, maka nama baik kompetensi dan jabatannya tetap terjaga. Dirinya terbukti berkualitas dan layak menyandang jabatan itu.
Mata para pendukung
Pada sisi para pendukung pihak yang berdebat, ada kegembiraan muncul ketika pihak yang didukung menang. Rasa cinta yang berlebihan semakin menjadi. Rasionalitas mengkritik pihak sendiri hilang.
Mereka suka jika yang dibela menang. Seolah-olah mengikuti jalan yang benar. Ada pihak yang mewakili suara mereka, yang tidak berani bersuara keras karena takut satu dua hal.
Hal yang sesekali sulit dihindarkan
Bagi pemenang, kepongahan dan euforia sering tidak terkendali. Mereka akan bersorak sorai di depan para pendukung pihak yang kalah. Selain karena malu dan merasa disindir, pendukung pihak yang kalah kerap termakan jengkel.
Suasana jadi panas. Ada kekesalan tersulut. Awalnya beradu pikiran, berubah jadi adu emosi. Jika tidak dikendalikan dan diredam sendiri oleh pihak yang berdebat, bukan tidak mungkin kondisi tidak diinginkan dapat terjadi.
Akhirnya...
Dalam hidup, kita tidak bisa melepaskan diri dari perdebatan. Selalu ada dan beberapa kali harus dihadapi. Tentu, semua tidak mau kalah dan ingin tampil menang.
Tentu pula, semua hendak beradu pendapat dengan kepala panas tetapi hati tetap dingin. Ada banyak energi tercurah di sana. Agar lebih bermanfaat, berdebatlah untuk hal-hal penting saja. Energi dapat dihemat dan digunakan untuk terus berkreativitas mengembangkan diri dan menghasilkan karya berkualitas.
Jika hal remeh-temeh, untuk apa capek-capek didebatkan? Sayang waktunya!Â
...
Jakarta
23 Mei 2021
Sang Babu Rakyat