Saya cinta dunia literasi baru-baru ini. Sejak SD, SMP, dan SMA, saya paling malas membaca. Apalagi jika saat ujian Bahasa Indonesia tiba. Dihadapkan dengan satu paragraf, berupa berbaris-baris kalimat, mata saya lekas capek. Sesekali, saya hitung kancing untuk memutuskan jawabannya.
Kelas di sekolah juga mendukung. Di kelas IPA, saya memperdalam kemampuan berhitung, lewat mata pelajaran Matematika, Fisika, dan Kimia. Saya begitu bersemangat ketika berkutat dengan angka, seperti memahami rumus Phytagoras, cara mengetahui nilai beban dan gaya gesek, bagaimana mencampur senyawa, daripada membaca.
Naik ke bangku kuliah, semakin menjadi. Bidang yang saya ambil pun eksakta, yaitu Akuntansi. Sama sekali tidak ada cerita, yang menunjukkan bibit-bibit bahwa saya menjadi gemar membaca saat ini.
Semua bermula dari cerita pendek (cerpen). Suatu ketika saya mendengar pembunyian cerpen dari youtube. Saya dengar baik, cara pembunyi membacakannya. Disertai pula dengan latar belakang suara alam dan kondisi kejadian yang mendukung. Membuat cerpen itu begitu hidup.
Suka mulai ada. Semakin hari, semakin banyak cerpen yang saya dengar. Apalagi karya Seno Gumira Ajidarma. Sebagian besar pasti apik. Saya pun memutuskan membeli buku-buku kumpulan cerpen dan terus membacanya.Â
Sampai sekarang, kebiasaan membaca itu terjadi dan mengalir begitu saja, seperti rutinitas. Tidak ada yang menggerakkan, baik itu karena butuh maupun ingin.
Suka saja saya membaca. Pikiran jadi segar. Hidup terasa tidak terkungkung, walaupun hanya dalam kamar. Apakah saya telah membuktikan bahwa buku adalah jendela dunia?
Yang selalu saya baca setiap hari
Apa yang saya baca setiap hari? Selain kitab suci, berikut santapan rutin saya, yang terus menemani dan membuat hidup menjadi lebih indah dan tidak membosankan.
Kompasiana
Saya tercatat sebagai salah satu penghuni di Kompasiana sejak 16 Mei 2020. Dua hari lagi tepat satu tahun. Setiap hari, baik pagi, siang, sore, maupun malam, saya sebisa mungkin sempatkan diri membaca tulisan para Kompasianer.