Di bus, jika berangkat sendiri, kita tentu tidak mengenal siapa yang duduk di sebelah kita. Apakah mereka pribadi yang suka berbincang atau sosok pendiam, kita tidak tahu karakteristiknya.
Meskipun mau bercengkerama, tidak seluas dan sebebas jika dibanding bersama keluarga. Rasa segan tidak ingin mengganggu dan menghormati privasi, juga ada. Akhirnya kesepian melanda. Jika gawai habis baterai, waktu lama sekali berlalu.
Sulit banyak gerak
Badan kita hanya dibatasi oleh sebuah kursi, dengan alas kaki kecil terbentang di bawah, dan sandaran punggung yang bisa diselonjorkan. Hanya itu tempat bergerak.
Sesekali pergi ke toilet bus untuk buang air. Peristirahatan di tengah jalan saat makan, menjadi surga bagi badan untuk meregangkan otot. Selebihnya, terduduk diam dalam belasan jam. Badan otomatis pegal-pegal.
Pemandangan monoton
Apa pemandangan yang biasa kita nikmati dari jendela bus? Jika momen mudik, pasti motor dan mobil di jalan. Ketika masuk jalan tol, tidak ada yang asyik dilihat. Sejauh pandang, hanya jalan bersama kerlap-kerlip lampu waktu malam.
Bila bosan, sebagian memilih istirahat. Tidak leluasa bergerak, pemandangan di jalan monoton, tidak ada teman bicara, sungguh menjadi sebab kuat untuk menghabiskan waktu dengan tidur. Kesannya istirahat, tetapi badan tetap pegal, karena begitu kaku di atas kursi. Berbeda dengan berbaring di tempat tidur.
Kemacetan di jalan
Kemacetan menjadi bagian dari perjalanan mudik lewat darat. Motor tumpah ruah memenuhi segala sisi. Mobil berderet-deret menunggu antrean. Belum lagi truk-truk besar yang berhenti di pinggir jalan.
Ini betul-betul memakan waktu. Jika kemacetan tidak terurai, waktu sampai akan bertambah lama. Saya ingat dahulu, pernah mengalami lebih dari satu setengah hari dalam bus, saat macet luar biasa di jalur pantura terjadi.