Hai diari, saya ingin cerita. Maafkan bila mengganggumu subuh-subuh begini. Berhubung ide sedang datang, izinkan saya menuliskannya pada tubuhmu.
Diari, saya tinggal di Jakarta. Saya paham benar, hidup di Jakarta tidak semudah membalikkan telapak tangan. Orang-orang dituntut bekerja keras, pergi subuh, pagi sampai sore bekerja dalam gedung tanpa terkena sinar matahari, dan malam pulang bersama kemacetan di jalan.
Bila lembur, sampai rumah beberapa teman sudah tidak lagi melihat anaknya. Anaknya telah tertidur lelap. Tidak berapa lama, mereka harus kembali bersiap, untuk berangkat subuh ke kantor.
Diari, sebetulnya mereka cari apa sih? Kalau jawabmu uang, itu benar. Saya pun cari uang selama hidup. Bohong, kalau ada orang yang tidak butuh uang. Orang terkaya sekalipun, masih perlu uang guna memenuhi kebutuhannya.
Ya, semua sudah dinilai dengan uang. Baik sandang, pangan, maupun papan, kita perlu uang untuk memperolehnya. Tentu, kita bahagia bila ketiga kebutuhan itu terpenuhi. Punya rumah sendiri, pakaian bagus, sampai makan segala macam rasa. Bila semua diperoleh dengan uang sendiri, tanpa berutang, pasti lebih bahagia.
Diari, aku tidak suka munafik. Uang memang mendatangkan kebahagiaan. Tetapi diari, jika kita lebih cermat, ada beberapa kekayaan yang tidak kasatmata, tetapi harganya begitu mahal, sampai tidak ternilai dengan uang.
Badan tetap sehat
Dari ujung rambut hingga pucuk kuku kaki, pernahkah kita perhatikan satu demi satu? Mata yang masih baik melihat, telinga yang cukup tajam mendengar, hidung yang peka akan bau, mulut yang bisa berbicara, dan lainnya, yang masih apik kondisinya.
Bila kita ke rumah sakit, semua itu menjadi mahal, karena harus dibayar dengan uang. Anggota badan yang sakit, untuk memulihkannya, perlu obat, perawatan, bahkan operasi. Jika tidak sembuh, akan terus menyedot uang yang entah sampai kapan.
Itulah sebabnya, badan yang masih sehat, begitu mahal harganya, sampai gagal dinilai dengan uang.
Ada kesempatan bersama keluarga