Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Urgensi Budaya Salam pada Era Kekinian

20 April 2021   05:10 Diperbarui: 23 April 2021   14:00 1416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi memberi salam. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Seorang lelaki paruh baya berjalan tegap melewati satu pintu besar di kantornya. Ada seorang pemuda berwajah tampan, berpakaian rapi, dan berbadan kekar mengikuti dari belakang. Ia membawa sebuah koper. Tangannya memegang handy talky.

Seorang gadis lewat. "Selamat pagi, Pak," ujarnya lembut sambil tersenyum. "Pagi juga, Dek," jawab lelaki paruh baya itu. Pemuda di belakangnya menjawab pula, tetapi dengan tersenyum.

Tulisan ini tercipta karena saya terinspirasi dari kebiasaan memberi salam di negeri Jepang. Kendati saya belum pernah ke sana, tetapi lewat hasil menonton film Jepang dan membaca artikel tentang budaya setempat, saya begitu terpukau.

Merujuk situs livejapan.com, di Jepang, budaya memberi salam sambil membungkuk dinamakan Ojigi. Ojigi ada lima bentuk. Bila tingkah laku berupa tinggal berdiri sambil menundukkan kepala dengan sudut sekitar 15 derajat ketika menyampaikan salam seperti selamat pagi, ini disebut Eshaku.

Jika dilakukan sambil duduk dan membungkukkan badan serta kepala 30 derajat lalu ditahan selama dua tiga detik, ini adalah Senrei. Sedangkan untuk bentuk paling resmi, diterapkan Keirei, yaitu berdiri lalu membungkuk 30 derajat.

Biasanya dikerjakan selain untuk memberi salam, juga untuk menunjukkan rasa terima kasih atau ketika berkenalan pertama kali dengan orang baru. Selain itu, ada Saikeirei dan Shazai.

Saya acungi dua jempol untuk budaya ini. Tidak gampang, membungkukkan diri di depan orang. Tidak gampang pula, menundukkan kepala menghormati orang. Apalagi, bila orangtua kepada anak muda.

Ini menandakan ada kemauan untuk merendahkan diri, meninggikan martabat orang. Sebetulnya tidak sepihak, karena yang diberi salam juga melakukan hal sama. Keduanya saling menghormati, lewat lempar balas salam. 

Bagaimana di Indonesia?

Yang sering kita temui dan saksikan di televisi adalah salam enam agama. Biasa digunakan resmi di acara kenegaraan.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera bagi kita semua, Shalom, Om Swastyastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan.

Bila lebih santai, bisa salam waktu, seperti selamat pagi, selamat siang, dan selamat malam. Lalu, dilanjutkan dengan sedikit senyuman dan jabat tangan. Sekarang, gara-gara Corona, menjadi sentuh siku dan menyatukan kedua telapak tangan di dada. Ada juga yang sedikit merendahkan posisi kepala.

Salam sudah melekat pada masyarakat kita yang terkenal ramah. Telah diajarkan sejak kecil oleh orangtua di rumah, ketika berangkat atau pulang sekolah. Diperdalam di sekolah, bersama guru di kelas. Dibiasakan sebagai budaya ketika bekerja di kantor. 

Namun, tidak semua tergerak dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang sudah sibuk dengan gawai masing-masing di tangan. Melangkah begitu saja di tepi jalan dengan tenang, tanpa menyadari siapa yang ada di sekitarnya. Mungkin ada pula yang merasa tidak penting memberi salam. 

"Dia kan di bawah saya umurnya, harusnya dia dong yang memberi salam pertama kali?" 

Mungkin itu salah satu alasan mengapa orang lebih tua jarang memulai duluan dalam memberi salam. Sementara anak muda takut kualat dan dianggap tidak menghormati jika tidak memberi salam.

Ilustrasi orang Jepang saat memberi salam, Sumber: livejapan.com
Ilustrasi orang Jepang saat memberi salam, Sumber: livejapan.com

Apa pun itu, memberi salam adalah budaya baik yang wajib dilestarikan, ketika berinteraksi dengan sesama. Banyak manfaatnya: 

Keberadaan kita diakui

Anda senang ketika diberi salam? Saya jujur suka. Ketika ada orang menyapa saya, berarti keberadaan saya sebagai manusia di dekatnya diakui. Saya tidak dianggap orang asing. Saya pun bukan angin lalu yang tidak bernyawa. Apalagi patung yang tidak bisa bicara.

Dalam grup WA keluarga, kami membiasakan memberi salam kepada seluruh anggota keluarga. Disebutkan nama satu demi satu, beserta doa semoga sehat selalu. Alangkah mengerikan apabila kita hadir tetapi terasa tidak dianggap ada.

Ada peningkatan derajat

Seperti sudah diulas di atas, salam adalah bentuk kita meninggikan martabat manusia. Kita memberi diri merendahkan hati untuk memulai memberi salam duluan, sebagai wujud menghormati derajat lawan bicara.

Bila anak muda kepada orangtua, sudah wajib. Begitu pun sebaliknya. Bukankah salam tidak memandang umur? Kawula muda kerap memaklumi bila yang lebih senior sering menunggu daripada memulai. Ada juga kaum senior yang memulai duluan.  

Bukti tidak ada masalah

Kalau kita disapa, berarti tidak ada masalah antara kita dengan pihak yang menyapa. Terlebih disertai senyuman, salaman, dan mata yang begitu berbinar menyambut, seolah kita saudaranya.

Bila kenal tetapi diam-diaman saat berpapasan, kita pasti menduga ada yang keliru. Apa saya melukai hatinya? Apa saya lupa minta maaf? Apa dia benci sama saya? Berbagai pertanyaan timbul karena tidak ada salam.

Pembuka percakapan yang hangat

Ketika rapat, seminar, bersama rekan kerja, keluarga besar, dan lainnya, salam terbukti efektif menciptakan kondisi kondusif, sebagai awal baik untuk membuka percakapan dan diskusi lanjut yang lebih serius.

Dengan menyajikan senyuman sembari memberi salam, kita membahagiakan, barang sedikit, hati orang-orang. Selain merasa dihormati, suasana dekat dan hangat tercipta. Bandingkan bila kita cuek dan merengut. Mana ada yang mau?

Menciptakan adab

Terakhir, memberikan salam mencerminkan adanya kebaikan budi pekerti. Kesopanan antarmanusia. Akhlak yang baik. 

Manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia saling membutuhkan. Oleh sebab itu, manusia wajib saling menghargai lewat pemberian salam, agar hatinya tergerak dengan mudah menolong satu sama lain. 

Jarang ada, orang yang sudah diremehkan tetapi membalasnya dengan menolong sepenuh hati. Bila ada, paling setengah hati. Itu pun dengan menekuk muka.

Demikianlah, budaya memberi salam. Sekiraku, perlu terus diaplikasikan, pada era kekinian, yang cenderung lebih mementingkan keperluan masing-masing. Semoga, budaya salam tetap lestari di negara kita.

Selamat pagi.

"Siapa yang susun presentasi ini? Bagus sekali," tanya lelaki paruh baya itu pada ajudannya. Ajudan itu melihat beberapa lembar laporan di meja. Terbaca sebuah tulisan kecil. Seperti nama seorang wanita. "Si Anu, Pak," jawabnya penuh sopan.

"Oh, si Anu. Saya kenal dia. Dia kan yang suka menyapa kita setiap pagi? Panggil dia ke sini. Saya ingin bertemu dengannya." Ajudan itu segera pergi, dengan segenggam kabar baik di tangannya.

...

Jakarta
20 April 2021
Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun