Saya mengiyakan. "Boleh, Pak. Satu hari cukup. Anak saya lusa pasti sudah sembuh."
Bapak itu lalu memutar jarum jam di jam bekernya. Saya melihat dengan cermat. Dia memutar jarum jam itu dua puluh empat kali, sampai jarum pendek dan panjangnya bersentuhan tepat dan kembali di angka dua belas.
"Sudah ya, Bu. Ibu sudah dapat sehari dari saya," katanya, "Jangan lupa, ibu harus memberikan sehari pula untuk membantu orang lain. Bila tidak, anak ibu akan sakit lagi."
"Baik, Pak. Baik." Saya memutuskan untuk menurutinya. Yang penting, anak saya bisa ikut ujian. Benar saja, meskipun tidak masuk akal, apakah ini sebuah kebetulan--rasa-rasanya semakin menjadi tidak karena sudah banyak kesaksian saya dengar bahkan saya sendiri mengalami, keesokan hari guru Matematika itu menunda ulangan. Lusa, ulangan digelar dan anak saya bisa mengikutinya.
Saya harus membuang logika jauh-jauh atas bapak penjual itu. Saya memutuskan percaya karena telah mengalaminya.
Demikianlah, kehadiran penjual waktu itu dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, terus saja dirubungi banyak orang, yang ingin membeli waktu darinya, untuk meringankan masalah mereka. Sesekali penjual itu menyampaikan nasihat, seperti orang pintar. Banyak yang mendengarkannya.
Akhir-akhir ini, persimpangan jalan itu mendadak sepi. Debu beterbangan dalam desau angin, menyerakkan sampah-sampah plastik yang dibuang begitu saja oleh para penjual di pasar. Tidak ada kerumunan. Tiang listrik itu terlihat jelas. Bagian bawahnya basah. Seekor anjing habis kencing di sana.
Penjual waktu itu tidak tampak. Warga tidak ada yang tahu mengapa ia tidak keluar rumah. Ia hanya menitip pesan, tidak ingin diganggu. Dalam rumah, ia tergeletak lemah di atas kasur jembelnya. Badannya mendadak lekas tua, seperti ada banyak energi telah diserap dari dirinya. Rambut dan jenggot panjangnya memutih. Kerutan wajahnya bertambah banyak.
Ia sadar, semua itu akan terjadi. Ia tidak menyesal ketika itu terjadi. Sesekali, ia bangkit dari tidur, duduk di atas kursi, sambil menepuk-nepuk dada. Ia merasa bangga waktu yang dia punya sudah diberikan untuk menolong orang lain.
Ia juga bangga, berhasil beranjak keluar dari penyesalan-penyesalan masa lalu. Saat di mana ia menggunakan waktu untuk mabuk-mabukan bersama teman-temannya semasa muda, kemudian pergi ke bar dan main perempuan, sampai menyentuh obat-obatan terlarang.
Karena itu pula, beberapa waktu terpaksa ia gunakan untuk mencari akal mengelabui orangtua dan menghabisi hartanya. Bila tidak cukup, sampai mencuri uang tetangga. Benar-benar menyusahkan hidupnya. Waktu-waktu itu merupakan waktu-waktu yang menyedihkan baginya, hanya berpikir tentang diri sendiri, tanpa berusaha menyenangkan orang di sekitarnya.