Dia menggoyang-goyangkan badan ibu. Suami Laksmi mengambil stetoskop dari tasnya. Lalu, dia mengecek detak jantung ibu. Tangannya memegang ujung pergelangan tangan ibu.
"Ibu sudah tidak ada," lirih dia berucap. Tangannya merapikan selimut di atas tubuh ibu, menutupi sekujur badan ibu. Lalu, dia pergi keluar, mendatangi rumah tetangga, mengabarkan kabar duka. Beberapa tetangga berdatangan.Â
"Ibu tidak boleh mati!" Mimi berteriak.
"Astaga, cepat sekali Bu Surti meninggal. Padahal baru lima puluh tahun," kata salah satu tetangga yang baru datang.
"Iya bu, kasihan ya. Apalagi ada satu anaknya belum menikah. Kasihan sekali," ujar tetangga lain.
"Sudah sudah, yang sabar Mimi. Kalau memang sudah waktunya, ikhlaskan. Kita tidak pernah tahu apa-apa tentang kematian," hibur salah seorang tetangga. Ia menyentuh pundak Mimi yang menangis terisak-isak. Tangan Mimi masih memegang tangan ibu yang mulai mengeras.
"Ibu tidak boleh mati!" Mimi kembali berteriak. Dia menggeleng-gelengkan kepala, seakan tidak terima kenyataan pahit yang harus dihadapinya. Siapa nanti yang akan bayar semua utang ini? Mimi sadar upahnya sebagai pembantu tidak mampu melunasinya.
Seorang tetangga lelaki dengan kopiah hitam di kepala beranjak mendekat.Â
"Turut berduka ya Mi. Sudah-sudah, utang ibu ke saya, saya anggap lunas," ujar Pak Edi.
Mendengar hal itu, Mimi sedikit terhibur. Seakan ada beban yang lepas sejenak dari pundaknya. Tapi, siapa yang akan menebus rumah ini? Masih terbayang di pikirannya, dia akan digusur dari rumah dan mungkin tinggal di emperan.
"Ibu jangan mati, siapa yang bayar semua utang ini?" bicara Mimi tetap keras. Ia terus merengek. Tepat di telinga jenazah ibu. Sebagian tetangga melirik keheranan. Sebagian memicingkan mata, seakan tidak percaya bisa-bisanya anak berbicara begitu di depan orangtuanya yang sudah meninggal.