Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ibu Tidak Boleh Mati

3 Maret 2021   19:21 Diperbarui: 3 Maret 2021   19:46 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: cahayaperdana.com

Dia menggoyang-goyangkan badan ibu. Suami Laksmi mengambil stetoskop dari tasnya. Lalu, dia mengecek detak jantung ibu. Tangannya memegang ujung pergelangan tangan ibu.

"Ibu sudah tidak ada," lirih dia berucap. Tangannya merapikan selimut di atas tubuh ibu, menutupi sekujur badan ibu. Lalu, dia pergi keluar, mendatangi rumah tetangga, mengabarkan kabar duka. Beberapa tetangga berdatangan. 

"Ibu tidak boleh mati!" Mimi berteriak.

"Astaga, cepat sekali Bu Surti meninggal. Padahal baru lima puluh tahun," kata salah satu tetangga yang baru datang.

"Iya bu, kasihan ya. Apalagi ada satu anaknya belum menikah. Kasihan sekali," ujar tetangga lain.

"Sudah sudah, yang sabar Mimi. Kalau memang sudah waktunya, ikhlaskan. Kita tidak pernah tahu apa-apa tentang kematian," hibur salah seorang tetangga. Ia menyentuh pundak Mimi yang menangis terisak-isak. Tangan Mimi masih memegang tangan ibu yang mulai mengeras.

"Ibu tidak boleh mati!" Mimi kembali berteriak. Dia menggeleng-gelengkan kepala, seakan tidak terima kenyataan pahit yang harus dihadapinya. Siapa nanti yang akan bayar semua utang ini? Mimi sadar upahnya sebagai pembantu tidak mampu melunasinya.

Seorang tetangga lelaki dengan kopiah hitam di kepala beranjak mendekat. 

"Turut berduka ya Mi. Sudah-sudah, utang ibu ke saya, saya anggap lunas," ujar Pak Edi.

Mendengar hal itu, Mimi sedikit terhibur. Seakan ada beban yang lepas sejenak dari pundaknya. Tapi, siapa yang akan menebus rumah ini? Masih terbayang di pikirannya, dia akan digusur dari rumah dan mungkin tinggal di emperan.

"Ibu jangan mati, siapa yang bayar semua utang ini?" bicara Mimi tetap keras. Ia terus merengek. Tepat di telinga jenazah ibu. Sebagian tetangga melirik keheranan. Sebagian memicingkan mata, seakan tidak percaya bisa-bisanya anak berbicara begitu di depan orangtuanya yang sudah meninggal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun