Selain itu, ibu-ibu teman arisan ibu diberi kain batik bercorak emas satu per satu yang kemudian dijahitkan sebagai seragam panitia perkawinan. Bapak-bapak di sekitar rumah yang bertugas menjaga pesta mendapat cendera mata berupa jas yang tidak kalah mahalnya. Para tamu pulang dengan hati bahagia, setelah beroleh suvenir tas anak sekolah yang harganya hampir sama dengan seragam panitia.
Untuk makan juga terlalu berlebihan. Nasi goreng, rendang, opor ayam, sate kambing, gulai sapi, dan makanan lainnya yang Mimi jarang makan selama hidup bersama ibu, disajikan terus menerus untuk para tamu.Â
Semua warga sampai hampir satu desa datang silih berganti dari pagi hingga sore, makan-makan dengan lezatnya setelah menyalami Umi dan suaminya. Anehnya, dan mungkin tidak punya malu juga, beberapa di antara mereka datang dua kali. Pulang bungkus-bungkus pula.
Kata ibu, perkawinan Umi mungkin perkawinan terakhir yang harus dia kerjakan. Dengan suaranya yang semakin parau itu, suatu malam dia bercerita pada Mimi, sepertinya hidupnya tidak lama lagi.
"Saya tidak masalah bu, ibu membuat pesta untuk Umi," kata Mimi sedikit berbohong. Sebetulnya Mimi sedih melihat semua harta ibu terkuras untuk acara Umi. Meskipun Umi adalah anak kesayangannya, mestinya ibu juga memikirkan Mimi yang belum juga menikah itu.
"Mumpung ibu masih hidup. Sepertinya Umi yang terakhir."
Ibu mengelus-elus dadanya. Wajahnya yang belum banyak keriput basah oleh keringat dingin. Matanya berkedip berkali-kali. Ibu mengerutkan dahi. Seakan-akan menahan perih.
"Tapi bu, apa harus sampai berutang?"
Ibu tidak menjawab. Yang terdengar hanya dengusan napas. Kemudian ibu batuk-batuk mengeluarkan darah. Sehabis itu, ibu lemas dan tertidur. Mendengkur keras.
Mimi bukannya iri dengan Umi. Tetapi, apakah untuk mengawinkan anak harus menghabiskan seluruh harta bahkan sampai mengambil utang? Apakah tidak bisa sederhana saja, meskipun itu anak kesayangan? Toh juga kemewahan perayaan tidak menjamin kelanggengan perkawinan. Banyak pula tetangga bercerai meskipun pesta perkawinannya sungguh wah. Bagi Mimi ibu sudah keterlaluan.
Sepetak sawah peninggalan bapak dijual. Rumah ini ibu gadaikan. Bahkan, ibu meminjam sejumlah uang ke Pak Edi yang bagi Mimi terasa sangat besar. Lima puluh juta. Demi perkawinan Umi.