"Itu bukan anak saya, Pak. Bukan! Anak kurang ajar itu. Dia lari membawa surat tanah saya!"
Sulepret terdiam. Dengan menyodorkan segelas teh panas, dia berusaha menenangkan emosi wanita itu yang seperti hendak memakan orang.
"Ibu tenang dulu. Saya kan hanya tanya."
Biasanya, dari kesaksian Pak Wagiyo-karena sudah akrab jadi dia mau bercerita pada saya-pegawai yang ditunjuk mendapat tambahan penghasilan melalui amplop berisi uang yang dijanjikan terlebih dahulu.Â
Waktu hitung yang sudah diatur tidak boleh lebih dari satu hari, kondisi rumah warga yang jauh-jauh dari kantor kampung, menyebabkan ada sebagian warga meminta didahulukan untuk didata, sehingga mereka tidak perlu menginap dan tidak kemalaman kembali ke rumah. Untuk memudahkan, mereka menjanjikan amplop itu.
Sekali lagi, dari mana motor itu bila tidak dari situ? Pasti dia berani ambil utang karena janji amplopnya banyak. Apalagi dia kemenakan pak kepala, tentu lebih dipandang warga.
"Selanjutnya, Pak Muamin!"
Seorang lelaki tua berkemeja rapi berwarna biru muda berlari-lari. Melewati sepuluh antrean, lelaki itu tiba di depan meja Sulepret. Ditariknya kursi dan dia duduk tepat menatap Sulepret. Lelaki itu adalah pengusaha perikanan yang sering menyumbang untuk kegiatan pembangunan di kampung Kumpang.
Salah satu antrean, seorang bapak, pendatang baru dari kota, berteriak.
"Bapak jangan nyelonong begitu! Kami antre dari tadi. Pak Sulepret juga aneh. Yang depan belum dipanggil, masak bapak itu duluan didata!"
Hari semakin siang. Matahari semakin panas. Beberapa warga mengipas-ngipas wajah dengan tangan.