Saya memang perlu memastikan bahwa ibu tidak sedang mengawasi ketika saya hendak keluar dari rumah.
Saya lalu berbalik ke arah meja makan, mengangkat tudung saji, memasukan sisa makan lalu menutupnya. Kemudian saya berjalan kearah pintu depan, memegang gagang pintu, menariknya, dan...
"Enos?" terdengar ibu memanggil dari dapur. Saya tak menjawab. Hanya diam. Saya bimbang antara harus menjawab ataukah berpura-pura tuli. Seketika terlintas pesan guru sekolah minggu saya:"Kalau ingin masuk surga, kalian harus mengikuti setiap perintah orang tua. Tidak boleh melawan. Tuhan tak suka anak yang nakal!"
Guru sekolah minggu saya bernama Ibu Meri. Rambutnya lurus seperti penggaris. Ia sangat baik. Ia menganggap kami seperti anaknya sendiri.Â
Ibu Meri telah menikah 4 tahun lalu, tapi belum juga memiliki anak. Entah apa penyebabnya, tapi kata orang-orang disini, suaminya mandul. Suaminya bernama Om Domi Nabliu, seorang guru olah raga lulusan Unkris Kupang.
Mereka telah mengikuti banyak saran perihal itu, mulai dari pergi ke dokter spesialis kandungan, melakukan naketi[3], pergi ke tim doa, hingga pergi ke seorang dukun dikaki Gunung Mutis. Tapi selalu tak membuahkan hasil. Ibu Meri tak pernah hamil. Mereka seakan dikutuk untuk saling mencintai dan hidup bersama tanpa memiliki keturunan.
"Enos?" ibu memanggil sekali lagi.
"Iya?" Saya menjawab sambil menutup kembali pintu dengan perlahan.
"Bawa minyak tanah kesini dulu." Ibu berkata dengan setengah berteriak. Sepertinya ibu telah putus asa berurusan dengan masalah api. Â
"Dimana?" saya bertanya.
"Disekitar kolong meja." ibu menjawab.