Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sampai Kapan Diskriminasi terhadap Penderita Gangguan Mental di Indonesia Terus Terjadi?

18 November 2020   17:49 Diperbarui: 18 November 2020   17:52 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang-orang bicara masalah toleransi, menyuarakan tentang toleransi, menyerang siapa saja yang dianggap intoleran. Namun sayangnya, aksi heroik moral itu hanya berlaku dalam ranah SARA. Saya pun sering menemui, di media sosial maupun dalam bentuk pamflet di pinggir jalan, banyak tokoh masyarakat menyerukan tentang pentingnya sikap toleransi. Namun lagi-lagi yang menjadi titik fokus, adalah soal SARA.

Saya pun mengalami sendiri, ketika beberapa "intelektualis" menulis tentang pentingnya toleransi dalam beragama, tetapi sendirinya lupa, bahwa toleransi bukan hanya soal agama, tetapi lebih luas cakupannya dari itu. Bagaimana bisa seseorang yang ngakunya intelektualis, mempunyai sikap toleransi, tetapi menyudutkan mereka yang mengalami gangguan mental? Ya. Saya seorang penyintas mental illness, dan Saya mendapatkan diskriminasi oleh mereka yang ngakunya seorang intelektual. Bahkan yang lebih parah, salah satu di antara mereka lulusan S2.

Awal mulanya, Saya share artikel Saya tentang label haram minuman beralkohol, mempertanyakan urgensi dari RUU Minuman Beralkohol. Saat itu ada salah satu member yang ingin mengomentari tulisan Saya, dan permintaan itu Saya kabulkan. Dia bilang jika tulisan Saya tidak relevan jika dikaitkan dengan paragraf pertama. Saya pun menerima argumen dia, lalu menjawab "masalah relevan dan tidak relevan, tergantung persepsi masing-masing".

Orang itu kemudian beralih ke topik lain dengan berkata, " berarti secara tidak langsung, kamu menggugat agamamu sendiri?". Saya jawab, iya. Alasannya? Pertama, kopi dulu merupakan salah satu produk yang haram (silahkan cari artikel via google, sudah banyak media yang membahasnya. Atau bisa klik link ini), namun seiring kemajuan sains, akhirnya kopi tidak lagi haram. Kedua adalah tentang babi. Dalam agama Islam, babi diharamkan, namun boleh dikonsumsi jika keadaannya sangat darurat. Sama halnya dengan vaksin yang terdapat unsur babi, fakta itu sempat viral dan dibahas oleh Ustadz Abdul Somad. Yang ketiga adalah bunga bank. Ketika uang mengendap di bank, akan memberikan bunga dalam saving. Bunga itulah yang dianggap riba, Islam pun mengharamkannya.

Tapi ada sebuah kasus, di mana bunga dari miliarder Timur Tengah pada Swiss Bank tidak pernah diambil. Pihak bank memanfaatkan bunga yang tidak diambil itu untuk aksi kemanusiaan, aksi sosial. Kabar tersebut sampai ke telinga ulama di Timur Tengah, dan akhirnya membuat ulama menyuruh pemilik bunga untuk mengambilnya, yang kemudian dialokasikan untuk keperluan pembangunan.

Di Indonesia sendiri, salah satu penyumbang APBN  adalah dari sektor perpajakan, yang di dalamnya terdapat perbankan. Jika kita mengacu pada hukum Islam, otomatis pajak bank yang diterima oleh negara, haram hukumnya. Namun pada faktanya, pajak itu tercampur dengan sektor lain selain pajak di dalam APBN. Sedangkan dalam RAPBN, uang yang sudah tercampur dengan "uang haram" dari bank, dialokasikan dalam pos-pos RAPBN yang kemudian disuntikkan untuk berbagai macam keperluan, salah satunya untuk pembangunan infrastruktur.

Logikanya, "uang haram" dari bank yang tercampur dengan "uang halal" dalam RAPBN, otomatis semua uang dalam RAPBN bersifat haram. Namun Sayangnya, banyak orang Islam yang menolak kesimpulan "mentah" itu, karena pada prakteknya, "uang haram" digunakan oleh kebaikan rakyat. Lalu, bedanya apa dengan kasus bunga di Swiss Bank? Setelah Saya menjelaskan tiga hal tadi, orang yang mengomentari tulisan Saya berkata, bahwa Saya "sok kritis". Lalu Saya memberikan respon, "jika tidak kritis, mana bisa Indonesia merdeka? Jika tidak kritis, bagaimana cara kita untuk memonitor kinerja Pemerintah?".

Namun orang itu terus saja menyerang Saya yang memang memiliki sikap kritis, dan yang lebih parah, banyak member dalam grup itu menyerang Saya, hanya karena dianggap kalau Saya tidak berhak menggugat (baca: mengkritisi) Islam soal alkohol.

Hal yang membuat Saya marah bukanlah soal tulisan Saya yang mendapatkan kritikan, melainkan karena ada salah satu member yang berkata "Penulis ngaku punya gangguan mental, yang waras ngalah." Emosi Saya langsung tersulut, komentar orang barusan Saya screenshot dan Saya kirimkan ke Bipolar Care Bandung.

Kenapa Saya melakukan hal itu?

Pertama, Saya mempunyai hak yang sama dalam mengutarakan pendapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun