Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Onani Kehidupan

4 Agustus 2020   22:57 Diperbarui: 4 Agustus 2020   23:09 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image via renunganlenterajiwa

Suatu saat akan ada orang yang begitu bersemangat, menggebu-gebu ketika mendapatkan pelajaran baru. Pelajaran yang berhasil membuatnya bersemangat. Pelajaran yang membuatnya tertarik. Pelajaran-pelajaran itu Ia peroleh dari buku, dari film, dari tulisan yang tersebar di dunia yang tak berbentuk. 

Pelajaran itu berhasil memantik daya berpikirnya, hingga secara sadar dan bangga memamerkan kepada khalayak ramai. Bahasa-bahasa intelektualitas, diksi-diksi yang sulit dipahami oleh orang banyak. 

Entah, kiranya kepuasan macam apa yang berhasil mengkudeta logikanya. Hingga membuat Ia merasa paling berilmu, merasa paling tinggi tingkatannya, merasa berhak mencemo'oh lewat satire-satire, merasa berhak merendahkan orang lain. Ditambah tepukan tangan, dukungan dari orang yang terkagum-kagum kepadanya. Dan itu berhasil membuatnya seperti sedang berjalan di atas angin.

Orang-orang yang seperti itu banyak Aku temui, dan hampir semuanya mendeklarasikan diri sebagai insan yang progresif. Coba tebak, siapa mereka? Aku tidak akan memberikan jawaban, maka terkalah hingga Kamu benar-benar mengerti.

Aku sudah pernah berkata, bahwa Aku telah melalui banyak fase kehidupan. Dan Aku adalah salah satu dari orang di atas, yang dengan bangga mempertontonkan kebodohan, yang dianggap oleh segelintir orang sebagai perpustakaan bernyawa. 

Dan kini tersadarlah Aku, ternyata berada di fase itu begitu memalukan, menyedihkan, dan juga menyakitkan. Tak peduli berapa ratus buku yang terkhatamkan, jika masih sebatas teori, maka tersesatlah seumur hidup. 


Dunia ini begitu luas, bahkan miliaran kali lebih luas dari buku-buku. Betapa kecilnya diri ini. Betapa menyedihkannya diri ini di dalam alam semesta yang Maha Tak Terjangkau.

Ketika Aku melihat orang, orang yang berada di fase yang sudah Aku lalui, betapa kerasa tamparan itu menimpaku. Orang-orang dengan segudang buku mempermainkan diksi-diksi, bahasa-bahasa intelektual, sedang mereka tidak sadar. Mereka tidak sadar, bahwa mereka sedang terjebak di dalam labirin yang Maha Membingungkan. Yaitu Paradoks.

Mereka berbicara kepadaku seolah Aku adalah orang bodoh, tidak memahami permainan kalimat mereka. Seolah Aku ini layak untuk dihajar dengan kalimat-kalimat fiksi. 

Tapi, ya. Aku sama sekali tidak marah, dendam, atau melakukan hal yang sama. karena memang pada faktanya diri ini teramat bodoh dibanding alam semesta. Namun nyawaku semakin lelah, ketika mereka terus asik menikmati penjara bernama onani intelektualitas. Ingin rasanya Aku berbalas menampar, tapi buat apa? Setiap orang mempunyai prosesnya masing-masing, sama halnya dengan diriku.

Sayangku. Dunia ini tak sesempit pola pikirmu. Dunia ini tak sesempir caramu berbicara. Dunia tak sesempit buku-bukumu. Ada banyak sekali karakter, cara berpikir, landasan hidup, dan juga gaya memaknai kehidupan. 

Banyak hal yang tidak Kamu temui di dalam buku-bukumu. Salah satunya adalah pengalaman pribadi. Kau tak perlu beretorika ketika sudah mengalami. Kau tidak perlu bermain diksi ketika sudah mengalami. Kau tidak perlu terjebak di dalam paradoks ketika sudah mengalami. Karena sejatinya, pengalaman adalah guru terbaik di jada raya. 

Kau bisa lebih bijak, atau bahkan kejam ketika sudah mempunyai pengalaman. Ya, hasil akhir ada di tangan kita. Kitalah yang menentukan kehidupan kita sendiri. Ingin menjadi pecundang atau ksatria. Ingin menjadi bawahan atau bos. Ingin menjadi api atau air. Atau tidak ingin menjadi apapun.

Dari banyaknya pengalaman itu, Aku memilih untuk tidak menjadi apapun. Bahkan Aku tidak ingin menjadi diriku sendiri. Yang benar bisa Aku salahkan. Dan yang salah bisa Aku benarkan. Itulah sekiranya rutinitasku. Aku juga tidak ingin menjadi orang yang berguna. Karena tindakan yang Aku lakukan mengalir tanpa sebuah alasan, tanpa sebuah asal. Orang-orang di luar sana baik kepadaku. Sedang mereka menolak balas budiku. Lalu, dengan apa Aku membayarnya? Yaitu dengan melakukan hal yang sama, yang pernah diberikan kepadaku dulu, dan Aku berikan kembali kepada orang yang berbeda.

Entah pikiran apa yang mengantarkanku hingga dianggap gila seperti ini. Tapi satu yang jelas dan pasti, Aku sangat menikmati peranku sebagai orang yang dianggap gila. Tak peduli berapa banyak tepuk tangan yang Aku dapatkan. Tak peduli berapa banyak pujian yang Aku dapatkan. Dan tak peduli berapa banyak kekaguman yang ditujukan kepadaku. Karena bagiku itu semua tiada artinya. Bukan berarti Aku sombong. 

Aku hanya risih ketika mendapatkan banyak empati. Seolah Aku adalah orang hebat. Seolah Aku adalah orang yang berguna. Seolah Aku adalah sosok yang dicari. Padalah Aku bukanlah apa-apa yang mereka delusikan. Aku adalah fana yang kebetulan mampir di kehidupan orang banyak.

Tak ada untungnya bangga dengan banyaknya buku yang dibaca. Karena itu semua tiada berharga sama sekali, jika Kamu tidak pernah berani untuk keluar dari zona nyaman. Zona yang memberimu kepuasan. Zona yang memberimu tepuk tangan. Zona yang sebenarnya hanya ilusi berisikan energi berwarna abu-abu.

Tersesatlah Kamu selamanya. Tersesatlah hingga Kamu benar-benar merasa bosan dengan segala macam bentuk materialis, eksistensial, dan juga humanisme. Dan jika Kamu beruntung lepas dari paradoks itu, berdialektikalah. Dialektilah seolah Kamu terlahir kembali. Dialektikalah sebagaimana pada umumnya. Yang orang lain paham. Yang orang lain tak akan ikut tersesat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun