Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kenapa Sampai Sekarang Belum Ada Kurikulum Anti-Bullying?

6 Februari 2020   18:59 Diperbarui: 7 Februari 2020   08:36 1002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Contoh yang sering terjadi saja, di masa kanak-kanak pasti kita semua pernah meledek teman kita dengan menyebut nama orangtua. Saling ledek nama orangtua ini sering terjadi, tapi dibiarkan saja dengan dalih "gakpapa anak kecil, bentar lagi juga baikan". 

Padahal saling ledek nama orangtua bisa membuat beberapa anak saling pukul karena emosinya, betul? Ketika saling ledek nama orangtua, kondisi psikologis anak sedang dipertaruhkan jika kasus seperti itu hanya didiamkan, dimaklumkan.

Lalu anak-anak kecil saling ledek dengan bahasa daerah mereka masing-masing, yang dapat menyebabkan korban menangis hingga adu pukul saking emosinya. 

Di sekitar kita banyak sekali kasus bullying yang terjadi, tapi kenapa kita hanya diam saja? Kenapa kita tidak menegur anak kita, keponakan kita, atau anak tetangga?

Sejak awal kita sudah membiarkan kasus bullying mendarah daging, dan ketika kasus bullying terjadi serta memakan korban, kita sibuk menyalahkan dan menghakimi. Akan sampai kapan kita akan membiarkan bentuk perundungan, bahkan yang paling sederhana dan umum terjadi?

Yang ketiga, peran anak-anak muda seperti akademisi, intelektual, mahasiswa atau siapa saja yang paham dengan kasus bullying, juga tidak kalah penting. 

Ambil saja contoh saya sendiri, saya sering menyoroti kasus bullying dan membuat esai tentang bullying. Hal itu saya lakukan sebagai bentuk peduli saya terhadap generasi penerus, sebagai bentuk tanggung jawab saya yang mempunnyai kapasitas mengenai hal ini.

Saya membuat Rumah Depresi, salah satunya untuk meminimalisir kasus bullying dan menjadi wadah bagi korban. Kita semua mempunyai peran penting untuk menyingkirkan penyakit bullying dari Indonesia, dari dunia, karena apa? Dengan kita ikut serta dalam meminimalisir bullying, artinya kita telah ikut menyelamatkan masa depan anak manusia.

Hal terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, kenapa Menteri Pendidikan tidak membuat kurikulum baru tentang bullying? Ciptakanlah kurikulum dengan membuat mata pelajaran baru untuk murid. 

Untuk isinya, Menteri Pendidikan bisa mengisi dengan edukasi-edukasi seputar psikologis, bila perlu putarkan video kasus bullying yang mengakibatkan korban mengalami luka hingga bunuh diri.

Karena menurut saya, dengan anak-anak melihat langsung video itu akan memberikan syok terapi yang bagus untuk perkembangan mental serta pikiran peserta didik. 

Mata pelajaran bullying bisa diisi dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang presuasif, misalnya tanya jawab, atau anak-anak diizinkan untuk mengadu kepada pihak sekolah jika mengalami perundungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun