Ada bulan yang selalu setia menemani nadi mati. Paska senja-senja bergelantung merenggut senyawa di ujung tombak. Paska rindu yang selalu bergelora namun terdahulu padam oleh hujan para dewa. Titik-titik nada, bait-bait lagu, deret-deret syair, dan sendu-sendu air mata. Di sela jatuh tak terlihat, ada orang yang selalu sigap menyuruh kedua tangannya. Menghapus butiran demi butiran air yang membasahi pipi, mengelus pipi yang telah bebas dari air mata.
Bukit padang pasir memang gersang di sepanjang mata. Tak ada tanda kehidupan. Tak ada tanda datangnya bala bantuan. Angin riuh, badai pasir, serta debu yang melayang-layang, selalu setia kepada sang alam. Ciptaan yang memang beda. Ciptaan yang tak lagi bisa berubah. Daun-daun masih tetap kering. Air pun, entah di mana mengalir.
Beda sajak, beda lirik. Beda dia, beda aku. Aku dan dia bagai dua malaikat. Yang satu jahat, yang satu baik. Yang satu dicinta, yang satu dibenci. Yang satu dirindu, yang satu dihindari. Aku dan dia persis seperti air dan api. Dia yang dingin penuh damai, aku yang selalu berkobar membawa petaka.
Bila saja Tuhan melihat, bila saja Tuhan mendengar. Di antara dua batas yang tak bisa menyatu itu terdapat sebiji kasih, yang kian tumbuh, kian memberontak. Sebiji kasih itu sengaja aku rawat, yang bila mana suatu saat aku hilang dibunuh petir, ia akan dengan berani membela keberadaanku. Tak butuh ribuan zat untuk mengukuhkan tekadku. Hanya satu, sebiji kasih yang tulus, yang suatu saat bisa menghancurkan alam semesta.
Aku dan dia saling merindu. Aku dan dia saling memiliki. Aku dan dia saling memberi. Tapi sembunyi-sembunyi selalu kami diawasi, oleh tatapan-tatapan nakal yang penuh birahi.
Suatu saat, tatapan-tatapan nakal itu akan menanggung karma yang sama. Sudah saling merasa, tapi dipaksa pisah oleh sesuatu yang tak dapat diterka.