Mohon tunggu...
Hendri Susanto
Hendri Susanto Mohon Tunggu... Lainnya - Psikologi mengatakan, jika seseorang suka tidur, maka dia sedang bersedih. Ya benar. Saya suka tidur, tapi ya karena ngantuk aja.

Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadyah Malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pembelajaran Daring di Masa Pandemi: Antara Kultur Akademis dan Krisis

18 Januari 2021   10:39 Diperbarui: 20 Januari 2021   13:58 2823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh (stress PJJ. /cedars.sinai)

Terhitung hampir sepuluh bulan lebih pandemi hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia, membawa dampak yang signifikan di hampir seluruh aspek sosial, tak terkecuali Pendidikan. Salah satunya adalah perubahan metode proses belajar dan pembelajaran - dari pembelajaran konvensional face-to-face, menjadi pembelajaran jarak jauh / daring - yang menuai banyak kritik dan kontroversi dalam pelaksanaannya. 

Selain permasalahan teknis, mulai dari kesiapan sekolah dan siswa dalam melaksanakan proses belajar secara daring / virtual, ketimpangan infrastruktur antara kota dan desa, metode pembelajaran daring juga menjauhkan siswa dari tradisi akademik dan esensi belajar, yang berpotensi menyebabkan kemunduran daya berfikir kritis siswa.

Situasi belajar dari rumah di masa pandemi yang kurang mendukung

Implementasi sosial di sektor Pendidikan yang tertuang pada Surat Edaran Kemdikbud No. 36962/MPK.A/HK/2020, tentang Pembelajaran Secara Daring dan Bekerja dari Rumah Untuk Mencegah Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19), menuai banyak perdebatan di kalangan masyarakat. 

Belajar dari rumah dengan memaksimalkan teknologi seperti smartphone dan laptop melalui platform berbayar Zoom hingga yang gratis seperti GMeet dianggap tidak begitu efektif. Pasalnya, proses belajar dan pembelajaran lebih bertendensi pada penugasan (assessment), ketimbang proses transfer dan interaksi mengolah pengetahuan. 

Hal ini memungkinkan siswa menelan mentah-mentah ilmu tanpa melalui proses analisa dan pengayaan yang cukup mendalam. Situasi seperti ini tidak terjadi secara serta-merta, melainkan didukung dengan terbatasnya waktu yang disediakan oleh platform pertemuan virtual, tenggang waktu pengumpulan tugas yang cukup berdekatan, dan komunikasi searah antara instruktur pengajar dengan siswa. Alhasil kesempatan siswa untuk bertanya, mengolah, ataupun menyanggah terhadap materi yang diberikan semakin menyempit. 

Belum cukup sampai disitu, minimnya follow-up materi belajar juga seolah-olah hilang dari proses belajar dan pembelajaran pada metode daring ini. Kondisi ini berpotensi menempatkan siswa dalam posisi abu-abu yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan dan capaian belajar siswa, dalam memahami sebuah kompetensi dasar. 

Sebagai contoh dalam pembelajaran Bahasa asing - Bahasa Inggris khususnya pada skill writing - mengajarkan 4 jenis teks; deskriptif, naratif, persuasif, dan ekspositor, sangat tidak tepat dalam satu semester daring ini. Alih-alih memperkenalkan siswa dengan konten tersebut secara detail dan menyeluruh, mengapa siswa tidak di bimbing untuk belajar dengan materi yang lebih otentik dan relevan - menulis opini (misalnya). 

Dengan begitu, pengalamam belajar dengan konteks yang riil dari skill tersebut dapat dirasakan langsung oleh siswa. Melalui manajemen kelas yang baik, kemudian follow-up dan revisi naskah tiap pertemuannya, serta feedback dari teman-teman sekelas, proses belajar dan pembelajaran akan bisa menemukan kembali esensi nya - proses nya ada, hasilnya juga ada, dan yang terpenting nyata. 

Namun yang terjadi adalah sebaliknya, siswa tidak dapat berbuat banyak. Hal ini disebabkan terbatasnya ruang dan kesempatan siswa untuk ikut berdiskusi, mengusulkan, dan mempertanyakan sejauh mana materi bisa membantu mengembangkan ranah kognitif mereka, sebagaimana yang terjadi pada kelas-kelas konvensional. Bagi siswa yang kritis, pengalaman belajar seperti ini sangatlah tidak relevan. 

Memang distribusi materi dan kompetensi dasar telah ter-determinasikan sedemikian rupa dalam Kurikulum Nasional, Silabus, maupun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Namun, dikala proses belajar dan pembelajaran tidak dapat dipantau secara nyata khususnya pada situasi pandemi seperti ini, paling tidak materi yang diberikan relevan dan dekat dengan realitas sosial. 

Dinamika seperti ini sangat bertolak belakang dengan tradisi akademis selama ini diantaranya, menanya, mendiskusikan, di dalamnya termasuk follow-up, hingga menyanggah konsep atas Ilmu Pengetahuan. Alih-alih menerapkan konsep “High Order Thinking Skills” HOTS atau berpikir tingkat tinggi, pelajar semacam dihadapkan dengan dinding kebuntuan yang dapat menurunkan sisi kritis mereka. 

Yang demikian, jelas tidak baik bagi masa depan produk lulusan satuan Pendidikan, karena esensi belajar dan pembelajaran yang berangkat dari proses berpikir, terkikis dengan dinamika metode belajar daring yang dilaksanakan selama masa pandemi ini.

Menyoal ketidakpastian pandemi dan kemunduran kultur akademis

Masyarakat Indonesia telah dihantui ketidakpastian sejak implementasi sosial terkait penanganan pandemi pada “kapan sebenarnya masa-masa sulit akibat pandemi ini akan berakhir.” Melihat berita yang ada di media masa, kita seolah-olah dibuat harus hidup berdampingan dengan sesuatu yang sifatnya membahayakan serta mengancam keselamatan. 

Keadaan lain yang tak jauh menghawatirkan adalah, bagaimana kita mendapati konstruksi teks/wacana/informasi/berita, yang terkonstruksi secara berulang-ulang dari pusat hingga daerah. Konstruksi tersebut dibangun menggunakan pendekatan Bahasa Politis setiap hari sehingga menyebabkan “common sense” atau kelumrahan di kalangan masyarakat. Kelumrahan yang demikian berpotensi menghilangkan sisi kritis manusia - akan pertanyaan-pertanyaan simpel namun mendasar terkait dengan informasi - karena penerimaan yang wajar di masyarakat.

Wacana tersebut turut mempengaruhi bagaimana konsentrasi gerakan belajar yang biasanya digelar di kampus-kampus, atau sudut-sudut ruangan kota, menjadi semakin berkurang. Tidak ada lagi kegiatan ngopi alias ngobrol pintar di warung kopi, atau sekretariat organisasi, membahas soal pandemi (misalnya).  

Di sisi lain aktifitas ekonomi ekstraktif terus dijalankan. Pertambangan, industri, dan lain sebagainya, harus terus beroprasi demi menopang sektor ekonomi. Jika yang menjadi soal adalah kerumunannya, lantas apa yang membedakan kerumunan di ruang-ruang intelektual dengan kerumunan di ruang-ruang pekerjaan? Dalih yang demikian, dan kelumrahan yang diciptakan, adalah sebaik-baiknya sirine kemunduran di bidang Pendidikan.

Kondisi tersebut sangat berpotensi mengakibatkan kelesuan dalam dunia akademis, karena ruang-ruang untuk berfikir kritis nyaris tertutup habis. Tentu masih terdapat alternatif untuk menyiasati keterbatasan dengan menggunakan platform pertemuan virtual agar dapat tetap menggelar kegiatan-kegiatan intelektual. Namun, tendensi persoalan kembali pada soal kerumunan. Mengapa yang itu boleh, dan yang ini tidak boleh.

Kebijakan pemerintah guna memutus rantai penyebaran virus corona, telah menemui titik jenuh yang mengundang sejuta tanya di setiap benak masyarakat Indonesia. Memang saat ini seluruh dunia sedang mengalami kesulitan yang sama, namun tingkat capaian dan penanganan setiap Negara, tentulah berbeda-beda. 

Harapannya, institusi Pendidikan dan Pemerintah di sektor pemerataan pembangunan dapat membenahi dan lebih mempersiapkan kembali masyarakat, terkait dengan metode belajar dan pembelajaran secara daring, dengan tanpa mengurangi esensi, dan objektif belajar dan pembelajaran seperti pada metode pembelajaran konvensional. 

Dengan demikian, menjadi penting agar Kemendikbud, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan (JPPI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI), dan khususnya Pemerintah Indonesia, untuk duduk bersama membahas bagaimana alternatif dan solusi terbaik dari pandemi yang tak kunjung berkesudahan, serta ancaman krisis dari kemunduran kultur akademis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun