Pasang Surut Perjalanan DesentralisasiÂ
Oleh : M. Harry Mulya Zein
Â
"Desentralisasi yang demokratis adalah cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhan lokal, dan effort  yang relevan untuk merancang kebutuhan masyarakat miskin dan memperluas akses untuk kemandirian ekonomi" (Brian C. Smith, 1985)  Â
Â
Desentralisasi di Indonesia sebenarnya telah ada sejak kemerdekaan bangsa ini 80 Tahun silam, namun praktek desentralisasi yang lebih relevan mulai berjalan sejak lahirnya Reformasi 27 tahun  yang lalu. Praktek penyelenggaraan desentralisasi menurut Smith dalam bukunya "Decentralization The Territorial Dimension of State", masih jauh panggang dari api.
Alih-alih ingin mewujudkan kebutuhan masyarakat lokal yang lebih baik, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan aksesibilitas masyarakat kepada badan-badan layanan publik, meningkatkan partisipasi publik dalam institusi lokal, mengurangi kegagalan dipusat pemerintahan dan memperkokoh persatuan bangsa, namun yang terjadi justru berbanding terbalik dengan harapan tersebut.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik kembali merilis angka kemiskinan nasional terbaru dan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) maret 2025, tingkat kemiskinan tercatat  sebesar 8,47%, lebih rendah dari 8,57% pada September 2024 yang lalu.  Meski hal ini mengalami penurunan tingkat kemiskinan, apabila dilihat dari penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,90 juta orang, pada tahun 2023, turun 0,46 juta jiwa dibanding September 2022.
Sementara Indeks Efektivitas Pemerintahan (IEP) Indonesia, menurut laporan Bank Dunia, masih cenderung rendah. Pada Tahun 2023 Indonesia meraih skor 0,58 dari skala -2,5 hingga 2,5, menempatkannya pada peringkat 58 global. Singapura masih menempati peringkat pertama dengan skor 2,32. Begitu pula peningkatan partisipasi publik dalam institusi lokal tidak menunjukkan hasil yang melegakan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2024 mengalami peningkatan, dengan skor naik menjadi 37/100 dari tahun sebelumnya  sekitar 34/100. Peningkatan inipun mengangkat peringkat Indonesia ke posisi 99 dari 180 Negara. Penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah langsung yang menjadi "andalan" desentralisasi lebih dominan menyumbang angka-angka yang membuat miris antara lain Jumlah Kepala Daerah yang tersangkut Korupsi dan ditangani KPK menyatakan ada sebanyak 167 walikota/bupati dan wakilnya yang terjerat kasus korupsi sepanjang 2004-2024.
     Regenerasi kepemimpinan lokal misalnya masih sangat minim jumlah pemimpin lokal yang mampu meraih prestasi yang membanggakan dimata publik, dari 552 Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota hanya sekitar 5 % yang dapat dikategorikan sebagai pemimpin yang inspiratif sekaligus inovatif dan dirasakan kehadirannya oleh masyarakat lokal. Kepemimpinan Kepala Daerah yang fenomenal seperti sosok Kang Dedi Mulyadi (KDM) Gubernur Jawa Barat mendapat apresiasi dari masyarakat. Meski sosok KDM masih datang dari kader parpol.
Wacana perubahan mekanisme pilkada langsung menjadi tidak langsung seperti yang diusulkan kader partai Kebangkinan Bangsa (PKB), dengan pertimbangan bahwa penyelenggaraan pilkada langsung selama ini membutuhkan proses politik yang panjang, sementara Indonesia membutukan efektivitas dan percepatan pembangunan nasional. Meski wacana usulan itu menui protes dari kader partai lainnya. Mereka berpandangan bahwa perubahan mekanisme pilkada ini akan berakibat pada membatasi partisipasi rakyat dalam menentukan kepala daerah (Kompas, 25 Juli 2025).
Apapun system pilkada yang akan diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat terkait mekanisme Pilkada baik yang langsung maupun  yang tidak langsung seyogyanya agar memberikan dampak positif pada penguatan penyelenggaraan otonomi daerah dan melahirkan sosok kepala daerah yang mengutamakan peningkatan kesejahteraan rakyat, sehingga orientasi segenap kepala daerah bagaimana menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih (clean government) dan good governance. Bukan malah sebaliknya sebagaimana yang diungkapkan Lord Acton (1834-1902) tentang kekuasaan bahwa 'power tends to corrupt' masih relevan pada kondisi saat ini, meski sudah lebih satu abad teori ini dicetuskan. Meraih kekuasaan hanya untuk mengumpulkan modal finansial untuk menggantikan utang-utang finansial semasa menjadi calon.
Sistem pilkada yang akan diterapkan kedepan tentunya dapat menumbuhkan pendewasaan pendidikan politik rakyat dalam kehidupan berdemokrasi. Namun yang perlu disempurnakan adalah soal implementasi Undang-undang 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-undang. Penyelenggaraan Pilkada yang mengharuskan lembaga pengawas pilkada agar menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, sehingga rakyat dapat dituntun untuk menyalurkan aspirasinya dalam pemilukada dengan prinsip jurdil (jujur, dan adil), guna menciptakan pemilukada yang beradab dapat diwujudkan di negeri ini. (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI