Dalam setiap babak sejarah Indonesia, hukum seringkali dipuja sebagai panglima. Namun ironisnya, dalam kenyataan sosial-politik kita hari ini, hukum justru tampak lebih mirip prajurit yang tunduk pada perintah tuannya: para elit. Ketimpangan penegakan hukum semakin mencolok ketika korupsi, kemewahan, dan penyalahgunaan wewenang menjadi tontonan publik. Sementara itu, di sisi lain, rakyat kecil harus berjuang melawan ketidakpastian hukum hanya karena pelanggaran sepele. Fenomena inilah yang menggambarkan betapa pernyataan “elit berpesta, rakyat menderita” bukan sekadar kiasan retoris, melainkan realitas yang pahit.
Dalam konsep klasik hukum, tujuan utama hukum adalah mencapai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Namun, dalam praktiknya, hukum di Indonesia kerap menjadi alat kekuasaan (instrument of power), bukan alat keadilan (instrument of justice). Kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat publik sering berakhir dengan hukuman ringan, penundaan eksekusi, atau bahkan bebas karena “tidak cukup bukti”. Sebaliknya, pelaku pelanggaran ringan seperti pencurian demi kebutuhan hidup justru dihukum berat.
Fenomena ini mengingatkan kita pada pandangan Satjipto Rahardjo yang menyebut hukum di Indonesia masih sering digunakan untuk “melayani kekuasaan” daripada “melayani rakyat”. Artinya, hukum belum sepenuhnya menjadi panglima keadilan, melainkan sekadar perisai bagi mereka yang berkuasa.
Ketimpangan penegakan hukum tak dapat dilepaskan dari struktur sosial yang timpang. Dalam kerangka sosiologi hukum, ketidakadilan muncul ketika hukum diciptakan dan dijalankan oleh kelompok yang memiliki akses terhadap sumber daya baik ekonomi, politik, maupun informasi. Dengan demikian, produk hukum yang lahir sering kali lebih berpihak kepada kepentingan elit.
Contohnya bisa dilihat dari prioritas kebijakan publik yang cenderung menyejahterakan mereka yang sudah sejahtera. Undang-Undang yang pro-investor, kemudahan pajak bagi korporasi besar, serta proyek-proyek mercusuar menjadi bukti nyata bahwa politik hukum di Indonesia lebih banyak diarahkan untuk melayani kepentingan ekonomi elit ketimbang kebutuhan rakyat.
Ironi terbesar adalah ketika para elit politik justru berpesta di tengah penderitaan rakyat. Dalam situasi ekonomi yang sulit harga bahan pokok melonjak, angka pengangguran meningkat, dan kemiskinan bertambah elit dengan enteng memamerkan kemewahan dan kekuasaan. Pesta, arak-arakan, atau acara seremonial dengan biaya fantastis menjadi simbol keterputusan antara penguasa dan rakyatnya.
Dari perspektif hukum tata negara, ini menunjukkan adanya krisis etika publik. Pejabat publik seharusnya memegang prinsip good governance : transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial. Namun yang terjadi justru sebaliknya, hukum administrasi negara yang seharusnya menjadi pengendali perilaku pejabat publik tampak lemah karena pengawasan internal dan eksternal tidak berjalan efektif.
Masalah terbesar hukum kita bukan hanya pada tataran norma, tetapi juga moralitas para penegaknya. Ketika aparat hukum dari polisi hingga hakim terjebak dalam lingkaran kekuasaan, maka keadilan akan kehilangan maknanya.
Hukum tanpa moral adalah kekosongan yang berbahaya. Ia bisa tampak rapi secara formal, tetapi busuk secara substansial. Dalam konteks ini, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap hukum. Legal cynicism sikap sinis terhadap hukum menjadi gejala sosial yang makin meluas. Orang percaya bahwa keadilan hanya berlaku bagi yang punya uang dan koneksi, bukan bagi yang benar.
Kita membutuhkan reformasi hukum yang berpihak pada rakyat, bukan pada kekuasaan. Pertama, harus ada keberanian politik untuk menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Kedua, pendidikan hukum di Indonesia perlu diarahkan agar lebih humanis dan kritis terhadap realitas sosial. Ketiga, perlu penguatan lembaga pengawasan seperti KPK, Ombudsman, dan lembaga peradilan agar tidak mudah diintervensi oleh kekuasaan politik.
Lebih dari itu, perlu kesadaran kolektif bahwa keadilan bukan hanya tanggung jawab hakim atau jaksa, melainkan juga seluruh warga negara. Hukum harus kembali ke fitrahnya: sebagai pelindung rakyat, bukan pelayan elit.
“Elit berpesta, rakyat menderita” bukan sekadar kritik moral, melainkan peringatan bahwa hukum di Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Apakah ia akan terus menjadi alat legitimasi kekuasaan, ataukah bertransformasi menjadi instrumen keadilan sejati? Jawabannya bergantung pada keberanian kita semua untuk menuntut keadilan yang tidak hanya legal-formal, tetapi juga sosial dan moral.
Sebab, ketika hukum kehilangan hati nurani, pesta para elit hanyalah tarian di atas luka rakyat.
Jejak Karya, Penulis : Maulina Fiti Ashari
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI