Mohon tunggu...
HMPSEP UNPAR
HMPSEP UNPAR Mohon Tunggu... Ilmuwan - Himpunan Mahasiswa Program Sarjana Ekonomi Pembangunan

HMPSEP

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekonomi Kolaborasi: Kunci Kesuksesan di Era Disrupsi Teknologi

2 November 2019   21:19 Diperbarui: 2 November 2019   21:52 1069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Teknologi yang semakin maju dan terus berkembang saat ini semakin memudahkan kehidupan manusia. Kemajuan teknologi akan mengubah pola dan gaya hidup masyarakat, tak terkecuali perubahan dalam sektor industri dan ketenagakerjaan. Terobosan teknologi dapat merevolusi perindustrian secara masif sehingga dibutuhkan kesiapan sumber daya manusia yang lebih kompeten. Disrupsi teknologi ini seringkali menimbulkan pro kontra. Di satu sisi, otomatisasi industri dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja sehingga meningkatkan output sebuah perindustrian. Selain itu, adanya kemajuan teknologi dapat membuka banyaknya lapangan pekerjaan baru yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, kemajuan teknologi dapat menyebabkan lapangan pekerjaan hilang karena tergantikan oleh mesin. Hal tersebut berimplikasi pada peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah fenomena bonus demografi yang sedang Indonesia hadapi. Sebagai contoh, berdasarkan Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan (Jarkom SP Perbankan) mengatakan sudah sejak 2016 diperkirakan 50.000 lebih karyawan perbankan di-PHK akibat digantikan mesin.

Kehadiran disrupsi teknologi menuntut tenaga kerja untuk memiliki berbagai keahlian serta keterampilan yang mumpuni. Jika demikian bagaimana academic, business, community and government (ABCG) akan bereaksi terhadap perkembangan teknologi? Selain itu, sudah sesiap apakah Indonesia dalam menghadapi babak baru ketenagakerjaan yang datang bersama revolusi industri 4.0 dan kebijakan strategis apa yang pantas diterapkan oleh kalangan demi mensukseskan tantangan ini?

Permasalahan Fundamental bagi Tenaga Kerja Indonesia dalam Menghadapi Disrupsi Teknologi

Kemajuan teknologi membuat semakin maraknya komputerisasi; segala pekerjaan dapat dilakukan oleh mesin atau biasa disebut otomatisasi industri. Perubahan yang terjadi saat ini membuat tenaga kerja Indonesia rentan digantikan oleh mesin. Kondisi tersebut terlihat berdasarkan tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia yang dapat dikatakan masih rendah.

Berdasarkan data dari Asian Productivity Organization (APO), produktivitas tenaga kerja Indonesia pada 2015 mencapai US$24.340. Hal tersebut menjadi ancaman bagi para pekerja yang nantinya akan tergantikan oleh mesin yang menyebabkan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran.

Salah satu yang menjadi penyebab rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia yaitu tingkat pendidikannya yang masih rendah sehingga berpengaruh pada kompetensi tenaga kerja. Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat bahwa pada Agustus 2018 jumlah penduduk bekerja sebanyak 88,43 juta. Namun, 40,69 persen diantaranya hanya lulusan Sekolah Dasar (SD).

Sebanyak 22,4 juta orang atau 18,09 persen penduduk bekerja merupakan lulusan SMP. Mendukung pernyataan tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas mengatakan bahwa rendahnya daya saing SDM Indonesia adalah terdapat gap latar belakang pendidikan dan bidang tenaga kerja yang ditekuninya baik dari sisi struktural maupun horizontal.

Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran SMK sebagai institusi pendidikan yang berfungsi untuk mempersiapkan pelajar menjadi tenaga kerja terampil yang siap kerja tidak berjalan secara efektif. Terlihat bahwa berdasarkan data tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang dihimpun dari BPS per Februari 2019, tingkat TPT paling besar terjadi pada penduduk lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu mencapai 8,63%.

Selain itu pula, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro menilai bahwa terdapat hal yang salah dari SMK di Indonesia. Secara garis besar, SMK yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan pasar atau kebutuhan dunia usaha sehingga lulusannya jadi tidak terserap

Dalam menghadapi revolusi teknologi yang terjadi saat ini, diperlukan kolaborasi antar berbagai kalangan baik pemerintah maupun pebisnis karena disrupsi digital meningkatkan konektivitas antar kalangan agar terwujud suatu kondisi perekonomian yang menguntungkan masyarakat banyak.

Namun, saat ini hal tersebut belum terwujud di Indonesia. Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengatakan bahwa peranan swasta dalam meningkatkan tenaga kerja, baik melalui program pelatihan maupun pemagangan, masih sangat kecil. Hal tersebut dapat terlihat dari jumlah tenaga kerja profesional di Indonesia hanya 5 persen, masih jauh di bawah Malaysia yang mencapai 20 persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun