Mohon tunggu...
HM Fotocopy
HM Fotocopy Mohon Tunggu... Lainnya - siswa smk

Hobi bermain game, melihat museum dan mencoba hal baru

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Dampak El Nino di Indonesia: Evaluasi Program Food Estate

16 Januari 2024   20:33 Diperbarui: 16 Januari 2024   20:39 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

"Food Estate" adalah program pertanian atau inisiatif pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Program ini melibatkan pengalokasian lahan pertanian yang besar untuk penanaman dan produksi bahan pangan dalam jumlah besar. Tujuan utama dari Food Estate adalah menciptakan cadangan pangan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan domestik dan, dalam beberapa kasus, bahkan untuk ekspor.

Pada umumnya, Food Estate melibatkan pengembangan lahan pertanian dalam skala besar, seringkali dengan memanfaatkan teknologi pertanian modern, irigasi, dan manajemen sumber daya air. Lahan-lahan ini diharapkan dapat mendukung produksi pangan yang berkelanjutan dan dapat diandalkan dalam jangka panjang.

Salah satu contoh Food Estate yang dikenal di Indonesia adalah program yang diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2020. Program tersebut bertujuan untuk menciptakan "Lumbung Pangan Nasional" dengan mengalokasikan lahan di beberapa provinsi untuk penanaman pangan, seperti singkong, sebagai langkah antisipatif terhadap potensi krisis pangan.

Meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan ketahanan pangan, program Food Estate seringkali menjadi kontroversial. Beberapa kritik mengemukakan bahwa implementasinya dapat menyebabkan deforestasi, perubahan pola pertanian tradisional, dan konflik dengan masyarakat lokal. Oleh karena itu, implementasi program semacam ini membutuhkan perencanaan dan manajemen yang baik untuk memastikan dampaknya positif dan berkelanjutan bagi masyarakat dan lingkungan.

Jakarta, 16 Januari 2024 - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Indonesia (BMKG) telah memperingatkan bahwa El Nino telah membuat kehadirannya terasa di Indonesia. Badan tersebut memprediksi bahwa negara ini tidak kebal terhadap konsekuensi dari El Nino, terutama dalam bentuk musim kemarau yang panjang dan suhu yang meningkat. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran tentang ketersediaan air, tantangan terkait kekeringan, dan dampak potensial terhadap produktivitas pangan, yang pada akhirnya memengaruhi ketahanan pangan.

Musim kemarau yang panjang yang dipicu oleh El Nino menyebabkan kecemasan, terutama di Papua Tengah, di mana kekeringan ekstrem telah melanda distrik Lambewi dan Agan Puncak. Hal ini mengakibatkan gagal panen bagi enam orang dewasa, membuat penduduk kesulitan mendapatkan pasokan makanan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah memperkenalkan program Food Estate, juga dikenal sebagai Lumbung Pangan Nasional, sebagai tindakan pencegahan terhadap potensi tantangan ketahanan pangan yang disebabkan oleh El Nino.

Presiden Joko Widodo memulai program Food Estate pada tahun 2020, dengan tujuan untuk menciptakan cadangan strategis bahan pangan di lahan yang ditentukan di lima provinsi, membentang dari barat hingga timur Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk membentuk cadangan pangan nasional yang mampu mendukung negara dan bahkan mengekspor hasil produksi berlebih ke negara lain. Tiga tahun menjalankan program, muncul pertanyaan: Apakah program Food Estate telah terbukti menjadi solusi yang layak untuk masalah ketahanan pangan di Indonesia?

Tidak dapat dipungkiri, program Food Estate atau Lumbung Pangan Nasional adalah inisiatif pemerintah yang dirancang untuk mengatasi masalah ketahanan pangan. Dana yang signifikan telah dialokasikan untuk program ini, mencerminkan komitmen pemerintah untuk mengatasi tantangan terkait krisis pangan jangka panjang dan pandemi COVID-19 yang meningkat. Namun, program Food Estate menghadapi kritik, terutama terkait dengan masalah deforestasi dan perubahan pola pertanian nasional.

Para kritik berpendapat bahwa implementasi program ini telah menyebabkan deforestasi, mengganggu ekosistem alam dan berdampak buruk pada pertanian lokal. Investigasi program Kompas difokuskan pada lokasi Food Estate di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, memberikan tampilan udara dari 600 hektar lahan tandus di Desa Tewai Baru. Area ini, yang awalnya dimaksudkan untuk penanaman singkong, sebaliknya menjadi representasi visual dari proyek pertanian yang gagal.

Petani lokal yang terlibat dalam program Food Estate menyatakan ketidakpuasan, mengeluhkan transisi mendadak dari budidaya karet menjadi singkong tanpa konsultasi atau kompensasi yang memadai untuk lahan mereka. Kurangnya komunikasi telah membuat petani merasa terabaikan dan terganggu, seiring dengan munculnya mesin berat yang tiba-tiba membuka jalan untuk perkebunan singkong. Ketidakhadiran pemberitahuan atau kompensasi sebelumnya telah memperparah situasi, meninggalkan petani dengan pertanyaan yang belum dijawab tentang kesesuaian lahan untuk penanaman singkong.

Seorang petani berusia 50 tahun mengkritik pemerintah karena tergesa-gesa dan memaksa penanaman singkong di Desa Tewai Baru. Ia menyoroti kondisi lahan yang kering dan berpasir, membuat pertumbuhan singkong sulit, menghasilkan panen yang minim yang tidak mencukupi untuk keberlanjutan, apalagi ekspor. Implementasi yang tergesa-gesa telah menghasilkan hasil yang tidak produktif, dengan petani mengalami kerugian finansial dan masyarakat menghadapi ketidakamanan pangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun