Mohon tunggu...
Reiza Patters
Reiza Patters Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just an ordinary guy..Who loves his family... :D

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKI: Relativisme Label "Korban"

2 Oktober 2015   13:59 Diperbarui: 2 Oktober 2015   13:59 714
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Presiden Republik Indonesia diminta meminta maaf kepada keluarga korban “pembantaian” anggota PKI, pada 50 tahun silam. Tidak kurang, lembaga negara seperti Komnas HAM, meminta Presiden mengambil inisiatif untuk meminta maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban pelanggaran HAM pasca 1965 tersebut. Tindakan Presiden itu dianggap sebagai upaya percepatan penyelesaian kasus tersebut di tengah lambannya pembahasan Rancangan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR).

“Kita tidak memiliki pilihan, (kasus dugaan pelanggaran HAM berat pasca 1965) itu harus diselesaikan. Karena itu menyangkut korban, menyangkut sejarah, menyangkut hak-hak orang,” kata Ketua Komnas HAM Nur Kholis, seperti dikutip dari BBC Indonesia.

Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, juga mengatakan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo dianggap mengabaikan tanggung jawab untuk menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Menurutnya, Salah satu penuntasan kasus pelanggaran HAM yaitu peristiwa pembersihan orang PKI atau yang dianggap PKI pasca G30S/PKI. Bonar menilai, dengan tidak meminta maaf kepada masyarakat atas peristiwa setelah peristiwa 30 September 1965 atau G30S/PKI, dan pelanggaran HAM lainnya, negara seakan tutup mata sudah melakukan kejahatan kemanusiaan.

“Bagi kami, pelanggaran HAM masa lalu adalah sesuatu yang harus menjadi prioritas. Karena ini sudah 17 tahun setelah reformasi tetapi tidak ada titik terang,” kata Bonar Tigor Naipospos, di kantor Setara Institute, seperti dikutip dari merahputih.com.

Bonar mengatakan, permintaan maaf dengan mengatasnamakan negara adalah kewajiban yang harus dijalankan oleh pemerintah. Dengan begitu, pemerintah mengakui telah gagal dalam melindungi warganya di masa lalu.Lebih lanjut, Bonar juga meminta untuk dibentuk tim komisi ad hoc pengungkapan kebenaran dan pemulihan korban. Namun pembentukan komisi tersebut bukan perwakilan kementerian atau institusi negara seperti TNI, Polri atau BIN.

“Kami mendesak kepada pemerintah supaya membentuk komisi pengungkapan kebenaran dan keadilan (korban G30S/PKI). Komisi ini bekerja menggunakan mekanisme yudisial dan nonyudisial,” katanya.

 

Kejahatan yang Sama Dilakukan PKI

Di sisi lain, Amelia Yani, Putri Jenderal Ahmad Yani, mempertanyakan rencana permintaan maaf pemerintah atas peristiwa tragedi 1965. Ia menegaskan bukan hanya keluarga anggota dan terduga PKI saja yang menjadi korban dalam masa itu. Namun ia, keluarganya serta keluarga korban pembantaian dari PKI sebelum meletusnya peristiwa Gerakan 30 September juga masuk dalam kategori korban.

“Minta maaf itu ke siapa, karena kami juga korban,” katanya dalam sebuah acara talkshow di sebuah televisi nasional, Jakarta, Selasa (29/9) malam.

Selain dianggap melakukan pembunuhan sadis pada para Jenderal TNI, pembantaian yang dilakukan oleh PKI, tercatat juga terjadi di Banyuwangi. Monumen Pancasila Untuk Mengenang Tragedi Pembantaian 18 Oktober 1965, Di Dusun Cemethuk, Desa Cluring, Kecamatan Cluring Banyuwangi adalah saksi berdarah peristiwa pembantaian 62 orang-orang Anshor oleh anggota PKI.

Kondisi tak adil dalam upaya rekonsiliasi atas kejahatan HAM masa lalu, juga dinyatakan oleh Budayawan Muslim Taufiq Ismail. Beliau menilai kondisi keadilan (HAM) untuk umat muslim Indonesia belum tercapai secara optimal. Mengingat, perlakuan para anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) beberapa tahun silam. Tepatnya, pada tahun 1927, 1948 dan 1965, Taufiq mengisahkan, pemberontakan PKI menelan banyak korban khususnya di kalangan umat Islam itu sendiri.

“Hak asasi yang dilanggar terjadi di 25 kota dan desa, pembunuhan-pembunuhan itu tidak pernah disebut-sebut,” papar Taufik, Agutus lalu, seperti yang dikutip dari Republika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun