Alexander Andries Maramis (A.A. Maramis) merupakan salah satu tokoh penting dalam tahap pembentukan Republik Indonesia yang sering kali "tersembunyi" di balik nama-nama yang lebih terkenal. Sebagai bagian dari Panitia Sembilan, ia berkontribusi dalam merancang dasar filosofis negara dan pada tahap selanjutnya, mengembangkan dasar kedaulatan fiskal melalui penerbitan Oeang Republik Indonesia (ORI) serta upaya diplomasi awal Republik. Artikel ini mengulas peran A.A. Maramis dengan mengkategorikannya ke dalam tiga bidang: politik-konstitusi (Panitia Sembilan), ekonomi-institusi (Kementerian Keuangan/ORI), dan diplomasi (Menteri Luar Negeri/PD RI serta duta besar), sembari mempertimbangkan jejak warisan dan maknanya bagi Indonesia saat ini
Latar pribadi dan formasi intelektual
Lahir di Manado pada 20 Juni 1897, Maramis menempuh pendidikan ELS dan HBS sebelum melanjutkan studi hukum di Universitas Leiden. Di Belanda ia bersentuhan dengan gagasan kebangsaan melalui Perhimpunan Indonesia, jejaring intelektual yang membentuk horizon politik banyak perintis Republik. Setelah lulus Mr. (Meester in de Rechten) pada 1924, ia pulang dan berpraktik hukum, sebuah profesi yang kelak membekalinya dalam kerja perumusan konstitusi.
Panitia Sembilan dan karier politik
Panitia Sembilan didirikan pada 1 Juni 1945 sebagai "kelompok kerja" yang mencakup berbagai ideologi untuk menyusun dasar negara yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Komposisinya menggabungkan nasionalis-sekuler (Sukarno, Hatta, Yamin, Soebardjo) dengan nasionalis-Islam (Abikoesno, Kahar Moezakir, Agus Salim, Wahid Hasjim) serta A.A. Maramis sebagai wakil nasionalis-Kristen dari Indonesia Timur. Dalam konteks politik identitas yang memanas sebelum kemerdekaan, peran Maramis sangat signifikan sebagai penghubung bagi minoritas, ia adalah satu-satunya perwakilan dari kelompok Kristen di Panitia Sembilan.
Pada saat krusial perubahan tujuh kata ("dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya") menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" pada 18 Agustus 1945, sebuah kesepakatan yang menjaga persatuan, literatur menempatkan Maramis di antara figur-figur yang mengerti akan sensitivitas wilayah Indonesia Timur. Pernyataan itu menegaskan bahwa Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD 1945 berasal dari proses dialog, bukan dari kekuasaan tunggal; ini adalah pelajaran berharga untuk pengelolaan keragaman di Indonesia.
Arsitek kedaulatan fiskal: Menteri Keuangan dan ORI
Setelah proklamasi, Maramis ditunjuk sebagai Menteri Keuangan pada 26 September 1945 menggantikan Samsi Sastrawidagda (yang mengundurkan diri karena sakit). Secara de facto, banyak catatan menjadikan Maramis sebagai Menkeu pertama yang secara aktif menjalankan kementerian. Agenda strategisnya: menegaskan kedaulatan moneter melalui ORI yang resmi dikeluarkan pada 30 Oktober 1946 sebagai pengganti mata uang pendudukan Jepang/NICA. Tanda tangan "A.A. Maramis selaku Menteri Keuangan" terdapat pada seri awal ORI, menandakan kewenangan fiskal Republik yang baru lahir, sebuah tindakan simbolis dan praktis dalam pembangunan bangsa.
Ia pernah kembali menjabat sebagai Menkeu beberapa kali (1947--1949), mengatur keuangan negara di tengah suasana revolusi dan blokade ekonomi. Peran ini diakui secara luas, termasuk oleh narasi resmi yang menempatkannya sebagai fondasi ekonomi negara; nama A.A. Maramis bahkan dikenang sebagai gedung utama Kementerian Keuangan. Dalam konteks lembaga, kebijakan moneter nasional tidak hanya berfungsi sebagai metode transaksi, tetapi juga sebagai alat legitimasi kedaulatan, pengaturan fiskal, dan pendanaan pemerintahan yakni sektor yang dibangun oleh Maramis di tengah tekanan militer-politik.
Menlu PDRI dan diplomat awal Republik
Saat Agresi Militer Belanda II terjadi (Desember 1948) dan pemerintah pusat tidak berfungsi, Sjafruddin Prawiranegara mendirikan PDRI. Dalam kabinet darurat ini, Maramis menjabat sebagai Menteri Luar Negeri hingga pertengahan tahun 1949. Tugasnya sangat penting: memelihara jaringan pengakuan dan dukungan internasional sambil mendukung legitimasi Republik yang berada dalam pengasingan. Setelah deklarasi kedaulatan, ia ditunjuk sebagai duta besar pertama RI untuk Filipina (1950--1953), selanjutnya untuk Jerman Barat (1953--1956), Uni Soviet (1956--1959), serta juga meliputi Finlandia, tugas-tugas yang memperluas pandangan geopolitik Indonesia di awal Perang Dingin