(07) mewabah,
(06) menular,
(04) mematikan, dan
(08) belum ada obatnya.
Keempat informasi ini membawa nuansa ancaman dalam makna katanya, yaitu menunjukan kemampuan atau keinginan untuk membahayakan orang yang terjangkit virus ini. Bila yang dikomunikasikan secara meluas hanya keempat dari sepuluh informasi yang ada, seperti lewat pejabat atau figur publik, dampakya akan lebih efektif untuk meresahkan masyarakat.
Dengan komunikasi semacam ini bukan hanya semantik di wilayah bahasa bisa dimodifikasi, tapi juga semantik sosial. Termasuk di dalamnya menggeser persepsi masyarakat agar menjauhi kenyataan sebenarnya sesusai selera. Dasarnya untuk mencapai tujuan tertentu atau mendapat keuntungan, kalau tidak tentu tidak akan dilakukan.
Rasa takut pada manusia bukan saja karena suguhan informasi yang menyeramkan. Tapi, dengan tidak mengungkap informasi secara lengkap soal virus ini, maka orang hanya mengerti, bahwa 'keganasan' wabah dan virus ini seperti tak memiliki batas. Segalanya dibuat seolah-olah sangat mungkin terjadi pada siapapun, tua-muda, besar-kecil, baik yang kuat maupun yamg lemah.
Dengan keresahan ini, perilaku masyarakat akan cenderung lebih mengikuti naluri untuk menyelamatkan diri, seperti dalam keadaan genting.
Indikasinya di lapangan bisa dirasakan segera dengan naiknya harga yang berbanding lurus dengan melonjaknya permintaan pasar akan masker dan desinfektan. Di samping tentunya permintaan bahan-bahan kebutuhan pokok kehidupan sehari-hari akibat 'panic buying'.
In medias res, memilah-milah informasi tertentu untuk disampaikan selalu didasari kesadaran, sekaligus mengindikasikan adanya kesengajaan. Mewabahnya virus Corona hanya satu dari sekian banyak celah untuk mengindustrialisasi keresahan masyarakat. Ada banyak macam dan ragam peristiwa di mana dari keresahan di masyarakat dapat didulang keuntungan. Salah satu caranya seperti ini, yaitu dengan menutup sebagian kebenaran.
Di sini rasa cemas dan takut sengaja diproduksi besar-besaran untuk didistribusikan seperti barang dan jasa.