Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menilik Sektor Energi Indonesia dari Aspek Politik, Ekonomi, Lingkungan, dan Kesehatan (Seri 2)

23 Mei 2019   19:17 Diperbarui: 23 Mei 2019   19:44 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Progres yang mengesankan telah terjadi dalam peningkatan potensi genetik produksi minyak kelapa sawit, tetapi pada kenyataannya, produksi dan produktivitas nasional minyak tersebut telah bersifat stagnan dari tahun 1975: antara 3 sampai 4,4 ton per ha (Tinker, 2000). Indonesia pun tidak luput dari observasi Tinker tersebut dengan produksi rata-rata sebesar 3,51 ton minyak per ha pada tahun 2008 (Rosediana Suharto, 2009). Namun, tantangan tersebut membuka kesempatan baru bagi Indonesia, dari Greenpeace, untuk mencapai produksi potensial atas dasar bahwa produktivitas yang meningkat akan mengurangi tekanan untuk membuka tanah baru (Bhui dan Davies, 2009).

Tidak hanya itu, kerenggangan produksi pun terjadi di antara dua produsen utama minyak kelapa sawit di Indonesia sebab terdapat perbedaan yang luas antara produksi perkebunan dan para pemilik lahan kecil. Rosediana Suharto (2009) mengatakan bahwa pada tahun 2008, produksi rata-rata dari para pemilik lahan 35% dan 40% lebih rendah dari produksi perkebunan swasta dan pemerintah, secara berurutan.

Akan tetapi, walaupun perkebunan-perkebunan pemerintah memiliki produktivitas yang lebih tinggi, tidak berarti ia secara otomatis lebih baik dari para pekerja perkebunan swasta dan/atau pemilik lahan kecil. Berdasarkan 2 dari 7 proyek Indonesia dukungan World Bank, oleh karena hasil yang mengecewakan dari agensi-agensi publik, Pemerintah Indonesia mendukung sektor swasta untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Daniel Larson (1996) pun menyetujui keputusan tersebut karena pasar modal domestik yang membaik dan bunga dari para investor asing sehingga industri minyak kelapa sawit tidak lagi membutuhkan insentif-insentif secara langsung.

Indonesia dan Ketergantungan Batu Bara

Grafik 1 menunjukkan persentase produksi kelistrikan yang dihasilkan oleh batu bara. Dari grafik ini, dapat dilihat bahwa dari tahun 1985 sampai 2015 terdapat tren kenaikan persentase produksi listrik dari batu bara, dengan fluktuasi pada beberapa periode waktu. Batu bara mendominasi penyediaan listrik nasional sejak tahun 2012 (51,075%) sampai tahun observasi terakhir.

screen-shot-2019-05-23-at-17-35-53-5ce677e495760e2d545e205c.png
screen-shot-2019-05-23-at-17-35-53-5ce677e495760e2d545e205c.png

Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional (2016) memproyeksikan bahwa dengan skenario business as usual (ditunjukkan oleh garis berwarna biru), pertumbuhan suplai batu bara sepanjang 2015--2050 akan berada pada kisaran 6,9% per tahun. Dengan demikian, penyediaan batu bara akan tumbuh dari 69,2 juta TOE (Tonnes Oil Equivalent) pada tahun 2014 menjadi 743 juta TOE pada tahun 2050.

dokpri
dokpri

Pertumbuhan penggunaan batu bara dalam penyediaan listrik nasional lebih dijelaskan oleh faktor harga batu bara. Harga listrik yang dihasilkan dari batu bara berada di kisaran US$6 sen per kWh, lebih murah dibandingkan harga listrik dari sumber lain yang berada pada rentang US$8 sen sampai US$11 sen per kWh. Regulasi pemerintah ikut membuat harga batu bara menjadi murah.

Salah satunya adalah Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1395 K/30/MEM/2018 yang menetapkan harga jual batubara untuk penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum sebesar US$70 per metrik ton Free On Board Vessel, dengan spesifikasi acuan pada kalori 6,322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8%, Total Sulphur 0,8%, dan Ash 15%.

Di sisi lain, penggunaan batu bara yang diimpor dari luar negeri jauh lebih sedikit dibanding penggunaan batu bara yang diproduksi secara domestik. Hal ini menyebabkan harga batu bara relatif tidak dipengaruhi oleh pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dolar, sehingga keunggulan kompetitif batu bara semakin besar dibanding minyak bumi.

Meskipun produksi batu bara Indonesia cukup besar, besaran cadangan batu bara Indonesia tidak terlalu besar. Bahkan sepanjang tahun 2014 sampai tahun 2015 terdapat penurunan cadangan batu bara. Pada tahun 2015, cadangan batu bara di Indonesia mengalami penurunan dari 32.384,74 juta ton menjadi 32.263,68 juta ton. Pada tahun 2016, cadangan batu bara di Indonesia mengalami penurunan menjadi 28.457,29 juta ton. Di sisi lain, sumber daya batu bara menunjukkan tren kenaikan yang berlangsung terus menerus dari tahun 2012 sampai 2016. Berikut adalah grafik sumber daya dan cadangan batu bara di Indonesia pada periode 2012 sampai 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun